1. Pengertian Pura
Sorga atau kahyangan digambarkan
berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura
merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun
tulian Drs. Sudiman tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan
ini.
Bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura adalah melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam bhumi (bhùrloka), jaba tengah adalah bhuvaáloka dan jeroan adalah svaáloka atau sorga. Khusus pura Besakih secara
keseluruhan melambangkan saptaloka (luhuring ambal-ambal) dan saptapatala (soring ambal-ambal)
Istilah pura dengan pengertian sebagai
tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari
jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata
Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi
tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk menamai
tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua
ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris,
1964: 56).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci
berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri
berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang
amat tua. Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap
arwah leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang maha besar
yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode megalithikum,sebelum kebudayaan India datang di
Indonesia.
2. Pengelompokan Pura
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan
pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi/dewa dan bhatàra, dapat
dikelompokkan berdasarkan fungsinya:
1).
Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja Hyang Widhi, para devatà.
2).
Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhatàra yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi
seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat pula pura yang berfungsi
ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja bhatàra. Hal
itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui upacara
penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddhadevatà
(telah memasuki alam devatà)
dan disebut bhatàra.
Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih
jauh berdasarkan ciri (kekhasan) yang antara lain dapat diketahui atas dasar
adanya kelompok masyarakat kedalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan
sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran). Ikatan sosial antara
lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan
atas jasa seorang guru suci (Dang Guru), ikatan politik di masa yang silam
antara lain berdasarkan kepentingan penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat
dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar
kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan, berdagang,
nelayan dan lain-lainnya. Ikatan geneologis adalah atas dasar garis kelahiran
dengan perkembangan lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut
(Titib, 2003: 96-100), maka terdapat beberapa kelompok pura dan perinciannya
lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat kekhasannya adalah sebagai
berikut:
1) Pura Umum
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat
pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa). Pura yang tergolong
umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan
Jagat Bali. Pura-pura yang tcrgolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah pura
Besakih, pura Batur, pura Caturlokapàla dan pura Sadkahyangan. Pura lainnya
yang juga tergolong pura umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat
pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang pandita guru suci atau Dang Guru.
2) Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah
(teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau
suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa
tersebut.
3) Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional,
umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang
sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti: bertani, berdagang dan
nelayan.
4) Pura Kawitan
Pura ini mempunyai karakter yang
ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis
kelabiran (genealogis). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang
lebib luas dari pura milik warga atau pura klen.
3 Struktur Pura
Pada umumnya struktur atau denah pura di
Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga
pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri
dari tujuh halaman (tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman
pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga)
bagian (halaman) itu adalah lambang dari “triloka“, yaitu: bhùrloka (bumi), bhuvaáloka (langit) dan svaáloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua)
halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaá) dan alam bawah (adhaá), yaitu àkàúa dan påtivì.
Sedang
pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “saptaloka”
yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhùrloka,
bhuvaáloka, svaáloka, mahàoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman
adalah simbolis dari “ekabhuvana” , yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman
pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal
sedang pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal
itu melambangkan “prakåti” (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah
simbolis “pura”
(unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakåti dengan puruûa dalam struktur pura adalah merupakan
simbolis dari pada “Super natural power“. Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat
merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha
Esa ) dalam sebuah pura.
Sebuah pura di kelilingi dengan tembok
(bahasa Bali = penyengker) scbagai batas pekarangan yang disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah
“padurakûa”
(penyangga sudut) yang berfungsi menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci (dikpàlaka ).
Sebagian telah dijelaskan di atas, pada
umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman, yaitu yang pertama disebut
jabaan (jaba
pisan) atau halaman depan/luar,
dan pada umumnya pada halaman ini terdapat bangunan berupa “bale
kulkul” (balai tempat kentongan
digantung), “bale wantilan” (semacam auditorium pementasan kesenian, “bale pawaregan” (dapur) dan “jineng” (lumbung). Halaman kedua disebut jaba
tengah (halaman tengah biasanya
berisi bangunan “bale agung” (balai panjang) dan “bale pagongan” (balai tempat gamelan). Halaman yang ketiga
disebut jeroan
(halaman dalam), halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi bangunan
untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa manifestasi-Nya. Di antara jeroan dan jaba tengah biasanya dipisahkan oleh candi
kurung atau kori
agung.
Sebelum sampai ke halaman dalam (jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi
bentar, yakni pintu masuk
pertama dari halaman luar (jabaan atau jaba pisan) ke halaman tengah (jaba tengah). Candi bentar ini adalah simbolis pecahnya gunung Kailasa tempat bersemadhinya dewa Úiva. Di kiri
dan kanan pintu masuk candi bentar ini biasanya terdapat arca Dvàrapala (patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali
disebut arca pangapit lawang), berbentuk raksasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu
masuk kehalaman dalam (jeroan) di samping disebut kori agung, juga dinamakan gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan
baru dibuka bila ada upacara di pura. Umat penyungsung(pemilik pura) tidak menggunakan kori
agung itu sebagai jalan
keluar-masuk ke jeroan, tetapi biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya disebut “bebetelan“, terletak di sebelah kiri atau kanan kori
agung itu.
Pada bagian depan pintu masuk (kori
agung) juga terdapat arca
Dvàrapàla yang biasanya bermotif arca dewa-dewa (seperti Pañca Devatà). Di atas
atau di ambang pintu masuk kori agung terdapat hiasan kepala raksasa, yang pada pura
atau candi di India disebut Kìrttimukha, pada arnbang candi pintu masuk candi Jawa Tengah
discbut Kàla, pada ambang candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali discbut
Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomàntaka (matinya Sang Bhoma ) dapat dijumpai dalam
kakawin Bhomàntaka atau Bhomakawya. Bhoma adalah putra dewa Visnu dengan ibunya
dewi Påtivì yang berusaha mengalahkan sorga. Akhimya ia dibunuh oleh Visnu
sendiri. Kepalanya yang menyeringai ini dipahatkan pada kori agung. Menurut cerita Hindu, penempatan kepala
raksasa Bhoma atau Kìrttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat
masuk kedalam pura, dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Orang-orang yang
berhati suci masuk kedalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar