Halaman

Selasa, 10 Desember 2013

ETIKA DALAM UPANISAD

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, dari kata “ethos” yang berarti karakter kesusilaan atau adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu yang berkenaan tentang tingkah laku baik dan buruk serta menyangkut hak dan kewajiban moral. Sedangkan menurut pandangan Hindu, etika tidak hanya sekedar ilmu. Etika dalam pandangan agama hindu mencakup hal yang lebih luas. Etika adalah suatu tingkah laku secara sadar yang dilaksanakan oleh manusia, untuk kebahagiaan serta keharmonisan hidup dan menyangkut  tentang hak dan kewajiban moral (sradha), antar sesama manusia, antara manusia dengan alam, bahkan antara manusia dengan Tuhan.
Etika dalam terminology Hindu disebut “susila” (bahasa Sansekerta) adalah perbuatan (Karma) apa yang dianggap perbuatan baik (subha karma/daiwi sampad) dan perbuatan tidak baik (asubha karma/asuri sampad). Etika sebagai bentuk pengendalian diri dalam hidup bersama, di mana aturan – aturan untuk bertingkah laku itu telah diatur dalam ajaran tata susila. Sehingga etika sangatlah identik dengan tata susila.  Dalam Sarasamuscaya.162 ditegaskan bahwa “tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma, pikiran yang teguh dan bulat saja merupakan upaya untuk menjunjungnya, ada pun keindahan paras adalah kebersihan pemeliharaannya. Mengenai kelahiran mulia maka budhi pekerti susila yang menegakkannya”. Dari kutipan sloka di atas, sangat jelas bahwa etika sangat penting untuk menegakkan dharma atau kebajikan yang dilandasi oleh pikiran yang jernih dan teguh. Sedangkan penampilan fisik manusia hanyalah semu, yang dapat dipelihara dengan menjaga kebersihan duniawi. Dengan memiliki budi pekerti yang baik  maka manusia akan dipandang menjadi makluk yang mulia.
2.2 Pandangan kitab Upanisad mengenai etika
Hindu adalah agama yang mulia, yang bersumber dari kebenaran Veda. Ada banyak ajaran dalam weda yang sarat akan etika, namun dalam makalah ini etika akan dikupas dalam sudut pandang Upanishad. Di dalam beretika khususnya umat Hindu ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan misalnya ; Pengendalian diri, Saling menghormati (Tat Twam Asi) dan Satya (Kebenaran)
A. Pengendalian diri
            Point yang sangat diperhatikan dalam pengendalian diri adalah penguasaan terhadap pikiran, dalam ajaran agama Hindu pikiran adalah raja dari indriya (rajendriya). Oleh karena itu pengendalian pikiran itu sangatlah penting dalam beretika. Dalam Katha Upanishad, kita dapatkan suatu analogy antara kereta dan kuda sebagai badan dan indriya serta pengendaliannya.
            Atmanam rathinem viddhi,
            Sariram rathamtu,
            Buddhim tu saradem viddhi,
manah pragraham eva ca  
                                    (Katha Upanishad 1.3)
Terjemahannya :
Ketahuilah bahwa sang pribadi adalah tuannya kereta, badan adalah kereta. Ketahuilah bahwa kebijaksanaan adalah kusir dan pikiran adalah tali kekangnya



Indriyani haya athur visayams
Tesu gocaran, atmanendrrya
Mano yuktam, bhoktety athur mamisinah.
                                    (Katha Upanishad 1.4)
Terjemahannya :
Indriya, mereka menyebutnya kuda. Sasaran indriya dalah jalan, sang pribadi dihubungkan dengan badan. Indriya dan badan itulah yang menikmati. Demikian orang pandai menerangkannya.
Yas to avijnanamvan bhavaty
Ayuk tena manasa sada
Tusyendriyany avasyany
Dustasva iva saratheh.
                                                (Katha Upanishad 1.5)
Terjemahannya :
Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang pikirannya tidak terkendali , yang indriyanya tidak dapat diawasi, semua itu adalah laksana kuda-kuda binal bagi sang kusir.
Yas tu vijnanavan bhavati
Yuktena manasa sada
Tusyendriyani vasyani
Sadasva iva saratheh.
                                                (Katha Upanishad 1.6)
Terjemahannya :
Dia yang memiliki kesadaran, yang pikirannya selalu terkendali, yang indriyanya selalu dikuasainya. Semuanya laksana kuda-kuda bagus bagi sang kusir.
Yas tu avijnanavan bhavaty
Amanskas sada sucih
Na sa tat padam apnoti
Samsaram candhigacchati
                                                (Katha Upanishad 1.7)
Terjemahannya :
Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang tidak kuasa atas pikirannya yang tidak suci, ia tidak akan sampai pada tujuan hidupnya bahkan akan kembali lagi pada kesengsaraan.
Yas tu vijnanavan bhavati
Samanaskas sada sucih
Sa tu tat padam apnoti
Yasmat bhuyo na jayate.
                                                (Katha Upanishad 1.8)
Terjemahannya :
Dia yang memiliki kesadaran, yang kuasa atas pikirannya yang senantiasa suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya dan karena itu ia tidak akan di lahirkan kembali di dunia ini.

Vijnana sarathir yastu manah
Pragravan na rah
Sodhvanah param apnoti
Tad visnoh paramam padan
                                                (Katha Upanishad 1.9)
Terjemahannya :
Ia yang memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan mengendalikan tali kekang pikiran, ia akan mencapai akhir dari perjalanan itu yaitu alam tertinggi, alamnya ia yang meresapi segala.
            Kutipan-kutipan tadi menekankan pengendalian indriya itu yang diumpamakan sebagai kuda. Bila indrya itu dapat dikendalikan, maka ia dapat menjadi kuda – kuda yang bagus yang mengantar penunggangnya sampai ke tempat tujuan. Namun jika sebaliknya, maka indrya itu diibaratkan kuda – kuda binal yang mengantar penunggangnya jatuh pada kesengsaraan. Dengan demikin jelaslah bahwa pengendalian terhadap indrya itu serta menguasai atas geraknya pikiran akan membawa manusia pada keselamatan di dunia dan akhirat kelak.
            Dengan mengendalikan indrya, maka keinginan yang muncul darinya dapat diarahkan pada hal – hal yang bermanfaat guna tercapainya kebahagiaan lahir batin. Indrya itu sendiri adalah jalan menuju sorga dan sekaligus jalan menuju neraka. Karena itu indrya merupakan sumber kebahagiaan dan sumber derita. Bila indrya itu dapat dikendalikan, maka kita akan memperoleh kebahagiaan dan surga pahalanya, tetapi apabila sebaliknya bila indrya itu tidak dapat dikendalikan  dan membabi buta maka seseorang akan terseret ke lembah derita dan nerakalah pahalanya. Hal ini ditegaskan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 71, sebagai berikut :


            Indriyanyeva tat sarvam
            Yat svarga narakavu
            Nigrhitanissrstani svar gaya narakaya ca
Terjemahan :
Yang diajarkan lagi, sesungguhnya (panca) indrya itu dianggap surga (dan) neraka, hakikatnya kalau dapat mengendalikan, itulah yang disebut laksana surga, apabila tidak sanggup mengendalikannya itulah laksana neraka.
Manah (pikiran) sebagai rajanya indrya mempengaruhi Panca Buddhindriya (mata, telinga, hidung, lidah dan kulit) dan Panca Karmendrya (tangan, kaki, perut, kemaluan, dubur). Misalnya mata memandang sesuatu yang menggiurkan nafsu, maka melalui caksu indrya mempengaruhi alam pikiran, dan dari pikiran ini dipertimbangkan, apakah yang dilihat tadi ada hasrat (keinginan) untuk memilikinya. Jika pertimbangan alam pikiran kabut, maka akan timbul usaha – usaha tercela untuk mendapatkannya. Namun bila alam pikiran itu sehat, maka usaha – usaha untuk mendapatkannya ditempuh dengan cara yang halal. Dengan demikian semua tuntunan indrya haruslah disaring terlebih dahulu melalui manah dan hasilnya lalu dipertimbangkan baik – baik. Ia harus dikendalikan agar dapat membawa manfaat dalam hidup ini dan sekaligus dapat terhindar dari berbagai macam mala petaka.
Jadi semua manusia di alam hidupnya harus dapat mengendalikan seluruh indrya itu yang senantiasa tidak henti hentinya meminta untuk dipenuhi tuntutannya. Dari sebelas indrya yang ada (ekadasa indrya) dalam gerak langkahnya sehari tercermin dalam tiga gerak perilaku manusia yang dikenal dengan Tri Prana, yaitu Idep (gerak pikiran), Sabda (gerak perkataan) dan Bayu (gerak perilaku). Ketiga prana inilah yang harus dikendalikan agar dapat terhindar dari segala perilaku yang negatif yang membawa kepada kesusahan hidup.
Di dalam kitab Sarasamuscaya dijumpai adanya sepuluh macam pengendalian diri terhadap gerak pikiran, perkataan, dan perbuatan. Adapun sepuluh macam pengendalian diri tersebut adalah tiga macam pengendalian pikiran, empat macam pengendalian perkataan dan tiga macam lagi adalah pengendalian perbuatan.
Rincian pengendalian terhadan pikiran :
a. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal
b.  Tidak berpikir buruk (marah) terhadap orang lain
c. Tidak ingkar terhadap kebenaran karma phala
Pengendalian diri terhadap perkataan :
a. Tidak berkata mencaci maki
b. Tidak berkata kasar
c. Tidak memfitnah
d. Tidak berkata bohong atau ingkar janji
Pengendalian diri terhadap perbuatan :
a. Tidak melakukan perbuatan menyiksa atau membunuh
b. Tidak melakukan perbuatan mencuri atau curang
c. Tidak melakukan perbuatan perzinahan
            Oleh karena nafsu atau keinginan itu muncul dari indriya, maka indriya tersebut patut dikendalikan agar mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan bebas dari segala kesengsaraan. Mengendalikan indriya bukan berarti membunuh indriya itu sendiri, tetapi kita jangan sampai diperbudak olehnya, melainkan harus sebaliknya manusialah yang harus dapat menguasai indriya itu. Tanpa nafsu atau keinginan atau juga tanpa indriya, manusia tidak dapat hidup. Sang Hyang Widhi telah menganugrahkan nafsu atau keinginan dan juga indriya adalah justru untuk kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan demikian di dalam hidupnya manusia harus selalu mengendalikan diri dengan selalu mengarahkan nafsu keinginannya atau indriya – indriya kepada hal – hal yang baik dan bermanfaat agar senantiasa memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup sebagai manusia sebagaiman yang kita kehendaki bersama.
B. Tat Twam Asi
            Kata “Tat Twam Asi” ada disebutkan dalam kitab Candogya Upanisad yang berarti : Dikaulah itu; Dikaulah semua itu; Semua makhluk adalah Engkau. Engkau awal mula jiwatman (roh) dann zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatman semua makhluk, dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau,;aku adalah Brahma.”Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10). Di dalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan “perikemanusiaan” dalam pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam pancasila, apabila kita cermati sungguh – sungguh adalah merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam kitab suci Weda.
            Kalimat Tat Twam Asi mengandung makna bahwa kita wajib dan harus mengasihi orang lain sebagaimana kita menyayangi diri kita sendiri. Inilah dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang Santhi (damai) dan Kertha (makmur). Tat Twam Asi selalu mengamalkan cinta kasih, bakthi, dan rela beryadnya (berkorban).

            Dalam kitab suci dikatakan demikian :
            “Hyang amati – mati wang tan padosa, haywa anglarani sarwa prani, haywa kita tan masih ring wang nista”
Artinya :
            Janganlah menyakiti makhluk hidup, janganlah tidak menaruh belas kasihan terhadap orang miskin  atau orang yang ditimpa kemalangan.
            Cinta kasih sejati ditandai dengan cinta kepada kebenaran dan kebaikan, maka menjadi kewaijban setiap orang untuk berbuat baik dan benar. Bhakti adalah perwujudan hati nurani yang ditunjukkan kepada orang tua, guru, bangsa, dan negara serta Hyang Widhi.
a. Bhakti kepada Hyang Widhi
 Merupakan perbuatan harus, brahman atman aikyam, demikian dikatakan dalam kitab suci yang berarti atman dan brahman itu sesungguhnya tunggal. Hyang Widhi memancarkan sinarnya kepada semua makhluk yang menyebabkan adanya hidup dan kehidupan di dunia ini. Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini dengan meyadnyakan diriNya. Oleh karena itulah kita harus berbakthi kepada Nya.
b. Bhakti kepada orang tua
Orang tua melahirkan (ibu), mendidik dan membesarkan anak – anknya, sehingga menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri serta sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab itu setiap anak  wajib dan harus berbakti kepada orang tua dengan selalu memenuhi permintaannya, menjalankan perintahnya dan menyenangkan hatinya.
c. Bhakti kepada Guru
Guru mempunyai tugas yang mulia sebab peningkatan kemajuan masyarakat itu sangat tergantung kepada guru. Oleh karena itu setiap orang siswa wajib bhakti/hormat kepada gurunya dengan senantiasa menuruti nasehatnya dan berbuat baik kepadanya (Guru Susruca)
d. Bhakti kepada bangsa dan negara
Selalu siap dan sedia mengorbankan jiwa raga untuk memperjuangkan dan menegakkan kemerdekaan bangsa terkandung pengertian bahwa setiap orang harus mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan atau golongan. Dalam usaha untuk memerdekaan diri dari belenggu awidya dan melepaskan diri reinkarnasi (punarbawa) orang harus dapat mengalahkan musuh yang ada pada diri sendiri.

Bentuk –Bentuk Ajaran Tat Twam Asi             
Wujud nyata dari ajaran Tat Twam Asi ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan perilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan (kama) manusia yang bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya seperti: manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, ekonomis, budaya dan lain – lainnya. Apabila semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimiliknya, betapa susah dan payah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami serta mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Semua diantara kita tahu bahwa berat dan ringan “Rwabhineda”itu selalu ada dan berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaannnya. Demikian adanya dalam hidup ini kita hendaknya selalu saling tolong – menolong, merasa senasib dan sepenanggungan. Samalah hendaknya pikiran, hati, dan tujuan manusia, dengan demikian  semua hidup bahagia secara bersama – sama.
Hidup dan kehidupan ini sesungguhnya saling ketergantungan satu sama lainnnya. Manusia tidak akan dapat hidup dengan sendirinya, dia hendaknya selalu berusaha menyamakan pandangannya dalam hidup dan kehidupan ini. Manusia hendaknya selalu merasakan dan berperilaku dalam hidup dan kehidupan ini seperjuangan dan senasib. Dengan demikian hidup ini akan menjadi harmonis, indah dan damai. Misalkan apabila suatu daerah mengalami bencana, maka bencana yang terjadi itu bukan saja dianggap sebagai bencana bagi daerah tersebut saja, melainkan bencana kita semua.
Jiwa sosial itu seharusnya diresapi dengan sinar – sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata. Ajaran Tat Twam Asi selain merupakan filsafat sosial, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai/mewujudkan perbaikan moral. Susila adalah  tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan rukun diantara sesama makhluk hidup yang lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita patut mengenal, mengindahkan dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh – sungguh, sebagai berikut :
1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran – ukuran / norma – norma masyarakat yang timbul dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar).
2. Rasa tanggung jawab atas tindakannya itu.
3. Lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka bangunan itu akan mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya dengan tata susila bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang kokoh dan kuat, maka tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati sanubari kita. Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisuhda. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma. Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati mengamalkan ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.
Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yaitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaannya dalam hidup dan kehidupan ini. namun dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak sekali tanda-tanda kemerosotan moral yang terjadi di lingkungan masyarakat, terutama dikalangan anak-anak ( para remaja) kita. Hal itu disebabkan karena:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu yang ada dalam masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan.
3. Pendidikan moral yang belum terlaksana sebagaimana mestinya baik dilingkungan sekolah, masyarakat, maupun ditingkat rumah tangga.
4. Situasi dan kondisi rumah tangga yang kurang stabil/baik
5. Diperkenalkan secara populer obat – obatan dan sarana anti hamil.
6. Banyaknya tulisan – tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang kurang mengindahkan dasar-dasar, norma-norma/aturan-aturan tentang tuntunan moral.
 7. Kurang adanya individu/organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat bimbingan dan penyuluhan moral bagi anak-anak remaja yang menganggur.
Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh, dalam sifat dan prilaku kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya diantara kita dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomani, cermati dan amalkan kehidupan sehari-hari ini.

C. Satya (Kebenaran)
Kesetiaan dalam Hindu merupakan sebuah ajaran agama yang wajib kita amalkan. Kesetiaan di kelompokkan menjadi lima jenis yang lebih sering di sebut dengan Panca Satya. Kesetiaan dalam hidup merupakan hal yang sangat penting karena dengan kesetiaan kita bisa memperoleh sebuah kepercayaan yang mungkin tidak semua orang memilikinya. Kesetiaan itu muncul bukan dari orang lain  timbul dari diri kita sendiri jadi bagaimana cara kita untuk memupuk kesetian itu.
Dalam Hindu kesetian di bagi menjadi lima bagian yaitu :
  1. Satya Semaya
  2. Satya Herdaya
  3. Satya Mitra
  4. Satya Wacana

1. Satya Semaya
 Dalam hal ini, yang dimaksud dengan satya semaya adalah kesetian kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME). Dimana kita diwajibkan untuk setia akan Beliau karena atas Beliau kita ada. Jadi dengan kesetian kita kepada-Nya merupakan sebuah penghormatan atau penghargaan atas apa yang telah Beliau anugrahkan pada kita dalam hidup dan kehidupan kita.
2. Satya Herdaya
            Satya hrdaya adalah kesetiaan pada diri sendiri pada kata hati. Terkadang manusia sering lupa apa yang ada dalam kata hati dan mengabaikan bisikan hati yang paling dalam. Ingatlah kata hati adalah penuntun, jadi mulailah setia pada kata hati diri sendiri. Niscaya penyesalan akan berkurang jika setiap orang telah berjalan sesuai dengan kata hati.
3. Satya Mitra
Mitra adalah teman,  mereka adalah bagian penting dalam hidup . Dengan adanya teman, manusia bisa sedikit berbagi segala suka duka, kelu kesah. Teman sejati akan selalu ada dalam segala suasana hati. Jadi setiap orang perlu setia pada temannya karena manusia tak bisa hidup sendiri di dunia ini(sebagai mahkluk sosial) dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, terutama seorang teman.
4. Satya Wacana
  Sering terdengar kata wacana, banyak sekali yang terlihat dalam kenyataan orang lupa akan apa yang telah ia ucapkan. Dalam sebuah pemerintahan banyak cerminan orang yang hanya bicara dan tidak setia pada apa yang telah ia ucapkan, dan banyak contoh-contoh lain yang bisa  dijadikan cermin bahwa kesetian dalam perkataan masih sangat kurang. Jadi mulai sekarang belajarlah untuk setia pada perkataan dan  jangan hanya berjanji.

5. Satya Laksana
Satya  laksana atau  setia terhadap perbuatan. Sebagai manusia harus setia pada apa yang telah  dilakukan atau diperbuat. Adapun perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan haruslah berani untuk mempertanggungjawabkan akibat yang akan ditimbulkan. Ingat ada sebab ada akibat, jadi mulailah setia.
 Kesetian sangatlah berarti dalam kehidupan  karena kesetiaan merupakan modal paling sulit untuk di dapat. Dengan adanya rasa kesetiaan akan mampu mewujudkan kehidupan sosial kemasyarakatan yang mantap, sehingga pembinaan individu sangat mutlak diperlukan. Untuk itu perlu ditananmkan kesadaran untuk melaksanakan ajaran satya dengan sebaik – baiknya, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Upanisad berikut :
            Satyam vada, dharmam cara
            Svadhyayam ma pramadah
                                                            (Taittiriya Upanisad I.11.1)
            Terjemahan :
            (Berbicaralah selalu benar/tepat janji, berbuatlah kebajikan (dharma) tekunlah belajar) Svadhyaya dan memuja-Nya dan jangan lalai.
2.3 Relevansi etika dalam masyarakat Hindu di Bali Zaman Modern
            Bali adalah sebuah nama yang merepresentasikan keunikan dan keindahan. Dikatakan unik karena budayanya yang lain dari pada yang lain, disebut indah karena panorama alamnya yang  begitu menawan. Ajaran agama Hindu yang  dibungkus dengan indah antara adat dan budaya menjadi suatu konsep yang dipengang teguh oleh masyarakat Bali dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya serta menjadi suatu ciri khas tersendiri bagi provinsi yang dijuluki Pulau Seribu Pura ini. Keunikan Pulau Bali ini menjadi magnet penggerak menggeliatnya sektor pariwisata di Bali. Salah satu faktor pendukung berjalan lancarnya roda pariwisata Bali adalah keramah-tamahan masyarakat bali yang merupakan pengimplementasiaan dari ajaran tata susila (etika).
            Sampai saat ini dalam masyarakat Bali masih sangatlah kental penggunaan tata bahasa yang berstruktur yang merupakan cerminan dari etika berbahasa, sebagai contoh masih adanya penggunaan sor singgih basa dalam berkomunikasi kepada orang yang dihormati ataupun orang yang baru dikenal. Misalnya ketika kita ingin berkomunikasi kepada wangsa Brahmana kita semestinya mengunakan bahasa yang lebih sopan dan halus. Kepada orang yang wangsanya sepadan pun orang Bali sangat menjunjung etika berbahasa ini, contohnya penggunaan kata sandang “Bli” adalah kata sandang penghalusan kepada seorang laki-laki dan kata “Mbok” kepada seorang perempuan. Belakangan ini pembudayaan panganjali umat “Om Swastyastu” sudah mulai digeliatkan oleh para tokoh dan intelektual Hindu.  Begitu pula penggunaan kata matur suksma yang dimana kata itu bermakna mempersembahkan jiwa demi kedamaian bersama sering digunakan dalam mengakhiri sebuah acara.
Etika berpenampilan merupakan suatu yang sangat penting bagi setiap orang. Terkadang banyak orang berasumsi, pribadi seseorang dapat dilihat dari etika penampilannya Busana yang rapi, tidak mencolok, akan lebih senang dilihat dari pada busana yang kurang sopan.
            Ajaran tata susila (etika) yang diturunkan oleh nenek moyang khususnya dalam berprilaku juga masih diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali. Hal ini dapat terlihat dari penggunaan kata “Om Swastyastu” di saat bertemu dengan sesama umat, prinsip hidup “sagilik saguluk, salunglung sabyantaka” masih jelas melekat dalam darah masyarakat Hindu Bali. Ada juga konsep menyama braya yang merupakan ajaran etika kekeluargaan, dalam artian menganggap orang lain adalah sama seperti bagian keluarga sendiri. Merasa bahwa dalam hidup, sesama manusia adalah sama, konsep tat twam asi pun sangat jelas ada di sini. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan.

3.1 Simpulan

            Etika sebagai bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama, di mana aturan-aturan dalam bertingkah laku yang baik telah dimuat dalam ajaran tata susila sehingga etika erat kaitannya dengan tata susila. Pada hakekatnya etika merupakan ajaran agar manusia berbuat sesuai dengan prinsip Sattwam (kebajikan), Siwam (kesucian) dan sundharam (keindahan). Lebih lanjut, dalam agama Hindu ajaran etika atau tata susila merupakan salah satu bagian dari ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Menilik dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, berarti etika merupakan bagian penting dalam dari kehidupan manusia khususnya umat Hindu. Ajaran etika merupakan warisan yang adiluhung dari nenek moyang masyarakat Hindu yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh pewarisnya. Ada berbagai tafsiran mengenai etika yang dijawantahkan ke dalam kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam bertingkah laku, seperti tata krama, tata sopan santun, peraturan sopan santun, norma sopan santun, tata cara bertingkah laku yang baik dan menyenangkan dan lain sebagainya, yang menuntun manusia untuk menjadi manusia yang berkepribadina mulia, berbudi pekerti luhur bahkan menuntun ke arah tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Ini sesuai dengan adagium Hindu “ Moksartham jagadhita ya ca iti dharmah”.

SEKTE-SEKTE ATAU ALIRAN-ALIRAN YANG ADA DALAM AGAMA HINDU

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Hindu berkembang menjadi banyak sekte. Ini disebabkan karena Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha-Rsi saja, dan juga tidak diwahyukan dalam kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula di tempat yang berbeda.
Ada tujuh Maha Rsi yang menerima wahyu Weda, yaitu:Maha-Rsi Grtsamada, Maha-Rsi Wiswamitra, Maha-Rsi Wamadewa, Maha-Rsi Atri, Maha-Rsi Bharadwaja, Maha-Rsi Wasistha dan Maha-Rsi Kanwa.
Weda diwahyukan sekitar 1.150 sampai 1.000 tahun Sebelum Masehi, di tujuh lembah sungai-sungai suci di India, yaitu: Gangga, Sindhu, Saraswaty, Yamuna, Godawari, Narmada, dan Sarayu.
Ketujuh Maha-Rsi itu menafsirkan wahyu-wahyu yang diterima, kemudian mendirikan perguruan-perguruan serta mempunyai murid atau pengikut masing-masing. Inilah bentuk awal dari adanya sekte-sekte Agama Hindu.

B. Rumusan Masalah
1. Sekte-sekte apa saja yang ada dalam agama hindu di Bali dan India?
2. Bagaimana ajaran dari sekte-sekte tersebut?

C. Tujuan
Mengetahui macam-macam sekte dalam agama hindu di Bali maupun di India, beserta ajaran-ajaran dari sekte-sekte tersebut



BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran-Aliran dalam Hindu di Bali
Menurut Goris sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX adalah sekte Siwa Sidhanta, sekte Brahmana, sekte Resi, sekte Sora, sekte Pasupata, sekte Ganapati, sekte Bhairawa, sekte Waisnawa dan sekte Sogatha (Goris, 1974 : 10 – 12). Di antara sekte-sekte tersebut yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam rontal Bhuanakosa:
1. Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai dengan fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta ini mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh) yang kemudian disebarkan ke India selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Penganut Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa. Mantra ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
2. Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata.
Perkembangannya sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama di beberapa pura yang tergolong kuno terdapat Lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula dibuat sangat sederhana sehingga merupakan Lingga semu. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata.
3. Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali Dewi Sri dipandang sebagai Dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Ceritera-ceritera mengenai Awatara Wisnu ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat dominasi adharma juga dikenal dan sangat popular di Bali dan ini pula bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali.
4. Adanya sekte Bodha atau Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipe “yete mantra” dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu diketahui di Pejeng – Gianyar. Menurut penelitian Dr. W. F. Stutterheim mantra Budha aliran Mahayana yang diperkirakan sudah ada di Genuruan-Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja-Pejeng, arca Boddha di Gua Gajah dan di tempat lainnya lagi.

5. Adanya sekte Brahmana menurut DR. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
6. Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberi suatu uraian yang sumir dengan petunjuk kepada suatu kenyataan bahwa di Bali Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa Brahmana. Istilah Dewaresi atau Rajaresi pada orang Hindu adalah merupakan orang suci di antara Raja-raja dari Wangsa Ksatria.
7. Pemujaan terhadap Surya sebagai dewa utama dilakukan oleh sekte Sora suatu tanda adanya sekte Sora. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari akan terbit dan matahari akan terbenam adalah ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga sekarang terdapat di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai Dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yadnya.
8. Sekte Ganapati atau Ganapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa sebagai Dewa tertnggi. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya didapatkan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada dibuat dari batu padas dan ada dibuat dari logam tersimpan dalam beberapa pura diBali. Fungsi Arca Ganesa adalah sebagai Wigna, Wigna yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakan pada tempat-tempat di mana dianggap bahaya.
Misalnya dilereng gunung yang berbahaya, di lembah, laut, pada pertemuan sungai dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel banyak patung-patung itu dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Dengan demikian patung Ganesa itu tidak mendapat pemujaan secara khusus lagi melainkan dianggap sama dengan patung-patung Dewa yang lain.
Umat Hindu dari segala sekte memulai persembahyangan maupun upacara keagamaan dengan terlebih dahulu memanggil Ganesa. Ganapatya ini merupakan salah satu dari lima sekte Hindu yang utama, sejalan dengan aliran Saiwisme, Saktisme, Waisnawisme, dan Smartisme yang mengikuti filsafat Adwaita. Meski sekte Ganapatya tidak sebesar empat sekte yang pertama, namun sekte itu telah memberikan pengaruh.
Ganapati juga dipuja sebagai sebuah bagian dari aliran Saiwisme sejak abad ke-5. Sekte ini sempat dipopulerkan oleh Sri Morya Gosavi. Sekte Ganapatya menjadi terkenal pada abad ke-17 dan 19 di wilayah Maharashtra di India Barat, berpusat di sekitar Cinchwad.
9. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai dewa utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa adat di Bali merupakan pengaruh dari sekta ini. Begitu juga pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekta ini. Sekta ini merupakan salah satu sekta wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan magik yang bersifat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra yaitu ajaran tentang enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini. Menurut ajaran sekte ini lingkaran Muladara dalam bagian perut bawah adalah bentuk lingga dan yang mengelilinginya dengan tiga setengah adalah Durga-Dewi. Dengan latihan-latihan khusus Durga ini dapat dibangunkan dari sikap tidurnya yang melingkar dan naik sampai ke lingkaran-lngkaran badan yang paling tinggi.
Bhairawa adalah merupakan perkembangan lebih lanjut dari mazhab Tantrayana yang termasuk kedalam sekte Sakta atau Saktiisme, dari mazhab Siva (sivapaksa). Disebut saktiiame, karena yang dijadikan obyek penyembahannya adalah Sakti.
Masih menurut R. Goris, ada bentuk tertinggi dari kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma(kara), yaitu Madya (alkohol), Mangsa/Mamsa(daging), Matsya( ikan), Mudra (sikap tangan), dan Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan ajaran ini tidak ditemukan lagi di Indonesia.

B. Aliran-Aliran dalam Hindu Di India
Orang-orang hindu dipisahkan menjadi 3 golongan besar , yaitu : waisnawa, yang memuja Wisnu sebagai Tuhan; Saiwa, yang memuja siwa sebagai Tuhan, Sakta, yang memuja Dewi atau ibu dari Tuhan. Sebagai tambahan ada Gaura, yang memuja Dewa Matahari; Ganaptya, yang memuja Ganesa sebagai tertinggi; dan Kaumara, yang memuja Skanda sebagai Tuhan.
1. Waisnawa
a. Kelompok Wadagalai dan Kelompok Tengalai
Waisnawa biasanya dibedakan menjadi 4 Sampradaya pokok atau sekte, di antaranya yang sangat kuno adalah Sri Sampradaya yang diperkenalkan oleh Ramanuja acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta inkarnasinya. Mereka disebut pengikut Ramanuja atau sri Sampradayin atau Sri Waisnawa. Para guru mereka adalah kaum Brahmana, dan siswa-siswanya boleh dari golongan manapun. Mereka semua mengulang-ulang Astaksara Mantra “OM NAMO NARAYANAYA”. Mereka menempatkan 2 garis putih dan satu garis merah ditengah pada dahinya.
Wedanta Desika, seorang pengikut Ramanuja, membuat beberapa perubahan pada kepercayaan Waisnawa. Hal ini menimbulkan formasi dari 2 kelompok Ramanuja yang saling bertentanga, yang satu disebut kelompok Utara (Wadagalai) dan yang lainnya Kelomok Selatan (Tengalai). Para pengikut kelompok Tengalai menganggap Prapatti atau penyerahan diri sebagai satu-satunya cara pembebasan diri. Para pengikut Wadagalai berpendapat bahwa ada satu jalan pembebasan. Menurut mereka, Para Bhakti atau pemuja seperti anak kera yang harus mengusahakannya sendiri dan bergantung pada induknya (Markata-Nyaya atau teori kera); sedangkan, menurut kelompok selatan, Bhakta atau pemuja adalah seperti anak kucing yang dibawa induknya tanpa suatu usaha bagi dirinya sendiri (Marjara-Nyaya atau teori cengkeraman kucing). Kelompok Utara meneriam naskah-naskah Sanskreta yaitu Weda, sedangkan kelompok selatan sedang menyusun Weda bagi kelompok mereka yang disebut “NALAYIRA PRABANDHA” atau “Empat Ribu Sloka”, dalam bahasa Tamil dan menganggap lebih tua dari pada Weda Sankreta. Sesungguhnya, ke-4.000 Sloka mereka didasarkan pada upanisad, bagian dari Weda. Dalam semua pemujaannya mereka mengulang-ulang bagian dari sloka-sloka tamil mereka.
Para pengikut Wadagalai menganggap Laksmi sebagai sakti dari wisnu. Dan Laksmi sendiri tak terbatas, tak diciptakan dan layak dipuja sebagai satu cara (upaya) untuk pembebasan. Para pengikut Tengalai menganggap Laksmi sebagai seorang makhluk wanita yang diciptakan, walaupun bersifat Tuhan. Menurut mereka, beliau bertindak sebagai perantara atau menteri (Purusakara) dan bukan sebagai suatu saluran yang layak untuk pembebasan.
Kedua sekte tersebut memiliki tanda-tanda wajah yang berbeda. Para Wagadalai membuat sebuah garis lengkung putih seperti huruf U untuk menyatakan satu-satunya kaki padma Wisnu yang kanan, sebagai sumber dari Sungai Ganga. Mereka menambahkan tanda garis merah di tengah sebagai simbol Laksmi. Para Tangalai membuat tanda garis putih seperti huruf Y yang menyatakan kedua kaki Padma Wisnu. Mereka menggambar sebuah garis putih separuh, menurun ke hidung.
Kedua sekte tersebut bercirikan lambang Wisnu, yaitu cakra dan kerang, pada dada, bahu dan lengan mereka. Para pengikut Tengalai melarang para janda di antara mereka dari pencukuran rambut.
Nama keluarga dari para Brahmana ramanuja biasanya adalah Aiyangar, Acarya, Carlu dan Acarlu.
b. Ramanandi
Para pengikut Ramananda adalah Ramanandi. Mereka terkenal dikalangan orang-orang Hindustan. Mereka merupakan sebuah cabang dari sekte Ramanuja, yang mempersembahkan pemujaan kepada Rama, Sita, Laksmana, dan Hanuman. Ramananda adalah seorang murid dari Ramanuja. Ia berkembang di Waranasi kira-kira pada awal abad ke-14. Para pengikutnya banyak terdapat dilembah Sungai Ganga. Karya favorit mereka adalah “BHAKTI-MALAT”. Tanda ke-sekte-an mereka adalah seperti orang-orang pengikut Ramanuja. Di antara para pertapa Ramanandi mereka disebut Wairagi.
c. Wallabhacarin atau Rudra sampradayin
Para pengikut Wallabhacarin membentuk sebuah sekte yang sangat penting di Bombay, Gujarat dan India Tengah. Penganjurnya lahir di hutan Campara pengikut Wallabhacarin memuja Krsna sebagai Bala-Gopala. Patung pemujaan mereka menggambarkan Krsna pada masa kanak-kanaknya hingga berumur 12 tahun. Gosain atau para guru merupakan orang laki-laki yang selalu tinggal di rumah.
Delapan upacara sehari-hari kepada Tuhan dikuil-kuil adalah Mangala, Sringara Gwala, Raja Bhoga, Utthapana, Bhoga, Sandhya dan Sayana; yang semuanya ini menyatakan berbagai bentuk kemuliaan Tuhan.
Tanda pada kening mereka terdiri dari 2 garis tegak lurus berwarna merah yang pertemuannya dipangkal hidung membentuk setengah bulatan dan memiliki sebuah titik bundar merah di antara dua garis tersebut. Kalung dan tasbihnya dari dahan pohon Tulasi (Basil Suci).
Otoritas yang terbesar dari sekte ini adalah Srimad Bhagawatam seperti yang dijelaskan dalam Subhodini yang merupakan komentar dari Wallabhacarya. Anggota-anggota dari sekte ini hendaknya mengunjungi sebuah tempat suci Sri Nathdwara, paling sedikit sekali dalam hidupnya.
d. Caitannya
Sekte ini terutama tersebar di Bengala dan orissa. Penganjurnya adalah Caitannya Mahaprabhu atau Tuhan Gouranga, yang lahir pada tahun 1485, yang dianggap sebagai inkarnasi dari Tuhan krsna. Beliau memasuki tahapan Sanyasa pada umur 24 tahun dan pergi ke Jagannantha di situ beliau mengajarkan ajaran-ajaran Waisnawa.
Para pengikut Caitanya memuja Sri Krsna sebagai Makhluk Tertinggi. Semua golongan masyarakat diperkenankan masuk ke dalam sekte ini. Para pemujanya secara terus menerus mengulang-ulang nama dari Krsna.
Kitab Caitanya Caritamrta oleh Krsna Dasa merupakan karya besar yang jumlahnya berjilid-jilid yang mengandung cerita-cerita pendek dari Caitanya dan pengikutnya yang terpenting serta keterangan tentang ajaran dari sekte ini. Buku tersebut ditulis dalam bahasa Begali.
Para Waisnawa dari sekte ini mengenakan dua garis putih tegak lurus dari pasta kayu cendana atau Gopicandana (sejenis tanah yang dianggap suci), menurun di dahi dan bertemu pada pangkal hidung, yang berlanjut mendekati ujung hidung. Mereka mengenakan kalung dari tiga untaian tasbih kecil pohon Tulasi.
e. Nimbarka
Penganjur dari sekte ini adalah Nimbarka atau Nimbaditya,yang aslinya bernama Bhaskara Acarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Dewa Matahari (Surya). Para pengikutnya memuja Krsna dan Radha secara bersama-sama. Kitab suci utama mereka adalah srimad Bhagawata Purana.
Para pengikutnya memiliki tanda dua garis kuning tegak lurus dari bahan Gopicandana. Yang ditarik dari pangkal rambut kepermulaan masing-masingalis dan di sana bertemu membentuk sebuah lengkungan, yang menyatakan tapak kaki dari Tuhan Wisnu.
Para pengikut Nimbarka atau Nimawat terpancar seluruh kalangan india atas. Meeka banyak terdapat di Mathura dan juga sangat banyak ditemui di antara sekte Waisanawa di Bangala.
f. Madhwa
Para pengikut ajaran Madhwa adalah Waisnawa, yang dikenal sebagai Brahma Sampradayin. Penganjur sekte ini adalah Madhwacarya, yang juga disebut Ananda Tirtha dan Purna prajna. Beliau lahir pada tahun 1200. Beliau merupakan seorang penentang terbesar dari system filsafat Adwita dari Sankaracarya. Beliau dianggap sebagai inkarnasi dari Wayu atau Dewa Angin. Beliau membangun dan mensucikan patung oemujaan Krsna di Udupi.
Para guru dari sekte Madhwa adalah para Brahmana dan Sannyasin. Para pengikutnya mencap dada dan bahunya dengan simbol Wisnu dengan memakai besi panas. Tanda pengenalnya terdiri dari 2 garis tegak lurus yang dibuat ndari Gopicandana, yang bertemu pangkal hidung. Mereka membuat garis lurus hitam dengan arang dari dupa yang dipersembahkan kepada Krsna, yang diakhiri dalam satu bulatan yang dibuat dari sejenis kunyit.
Para pengikut Madhwa dibagi menjadi dua golongan yang disebut Wyasakuta dan Dasakuta. Mereka banyak dijumpai di Karnataka.
Kejujuran, belahar kitab suci, murah hati, kebaikan hati, kepercayaan dan kemerdekaan dari rasa cemburu membentuk hukum-hukum moral dari para pengikut Madhwa. Mereka memberikan nama-nama Tuhan kepada anak-anak mereka (Namakarana), dan mencap badan mereka dengan simbol-simbol-Nya (ankana). Mereka melaksanakan kebajikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan (Bhajana).
g. Radha Wallabhi
Para pengikut Radha Wallabhi memuja Krsna sebagai Radha Wallabha, yaitu penguasa kasih sayang Radha. Penganjur dari sekte ini adalah Hariwansa. Sewa Sakhi wani memberikan uraian terperinci tentang pengertian sekte ini, terlebih lagi tentang tradisi dan tata tertib mereka.
Carana Dasi, Dadu Panthi, Hari Candi, Kabir Panthi, Khaki, Maluk Dasi, Mira Bai, Madhawi, Rayi Dasi, Senai, sakhi Bhawa, Sadma Panthi, kesemuanya ini merupakan sekte-sekte Waisnawa.

2. Sekte Saiwa
a. Brahmana Smarta dari Selatan
Para Brahmana Saiwa dari Tamil Nadu memiliki gelar Aiyer dan mereka disebut Smarta. Mereka semua mengenakan 3 garis mendatar dari Bhasma dan Wihbuti (abu suci) pada dahinya dan kesemuanya memuja Dewa Siwa. Sekte-sekte yang berbeda antara lain:
1. WADAMA, Wada Desa Wadama, Cola Desa Wadama dan Inji Wadama.
2. BRIHATCARANAM, Mazhainattu Brihatcaranam, Pazhamaneri Brihatcaranam, Milaghu Brihatcaranam dan Kandramanika Brihatcaranam
3. WATHIMAR
4. ASTASAHASRAM
5. COLIYA, dengan sambutan lain Pandimar dan adat istiadat dari Tirucendur
6. GURUKKAL, sebuah Sub-sekte dari Wadama tidak diakui sebagai salah satu di antara mereka dan yang kewajibannya adalah memuja dikuil-kuil. Mereka juga dikenal dengan nama Pattar, didistrik Madras bagian selatan. Mereka ini berbeda dengan Acraka, yang merupakan milik dari salah satu sub sekte di atas dan saling kawin dengan orang-orang golongan lain, namun bukan dari golongan Gurukkal atau Pattar. Sedangkan Gurukkal dipergunakan hanya bagi penganut Saiwa, dan Pattar maupun Arcaka dipergunakan juga bagi penganut Waisnawa.
b. Brahmana Saiwa dari Malabar
1. Namburidi
2. Muse
3. Embantiri
c. Brahmana dari Bengala
1. Cakrawarti
2. Cunder
3. Roy
4. Ganguli
5. Coudhury
6. Biswa
7. Bagci
8. Majumdar
9. Bhattacarji
d. Brahmana Saiwa dari Karnataka
1. Smarta
2. Hawiga
3. Kota
4. Siwali
5. Tantri
6. Kardi
7. Padya
e. Telugu Smarta
1. Murkinadu
2. Welandu
3. Karanakammalu
4. Puduru Drawidi
5. Telahanyam
6. Konasimadrawidi
7. Aruwela Niyogi

f. Lingayat
Lingayatism adalah agama yang independen di India. Para penganut iman ini dikenal sebagai Lingayat (Kannada:
ಲಿಂಗಾಯತರು). Istilah ini berasal dari Lingavantha di Kannada.
Mereka disebut Wirasaiwa dan banyak dijumpai di Mysore dan Karnataka. Mereka mengenakan sebuah Linga Siwa yang diletakkan dalam sebuah kotak perak kecil, pada lehernya.
Konsep Tuhan
Lingayat percaya di dunia monoteistik di mana Lingga atau Para-shiva adalah Allah tertinggi dan diri dan Siwa adalah satu dan sama. Istalinga dikenakan oleh Lingayathas pada tubuh mereka adalah representasi non-anthropomorphic dari Allah yang mutlak dan tak berbentuk ( klarifikasi diperlukan ).
Konsep Shoonya
Serikat Benar dan identitas Siva (Lingga) dan jiwa (Anga) adalah tujuan hidup, digambarkan sebagai shoonya, atau ketiadaan, yang bukan merupakan kekosongan. Satu bergabung dengan Siva oleh shatsthala, jalan enam-tahap progresif dari pengabdian dan penyerahan diri: bhakti (pengabdian), mahesha (pelayanan tanpa pamrih), prasada (sungguh-sungguh mencari rahmat Siva), pranalinga (pengalaman semua sebagai Siwa), sharana (egoless perlindungan di Siwa), dan aikya (kesatuan dengan Siva). Tiap tahap membawa para pencari lebih dekat, sampai jiwa dan Tuhan menyatu dalam keadaan akhir kesadaran Siva abadi, seperti sungai penggabungan di laut.
Lingayat kebiasaan dan praktek-praktek Ishtalinga
Lingayat membuat titik untuk memakai Ishtalinga setiap saat. The Istalinga terdiri dari batu sabak cahaya abu-abu dilapisi dengan pasta halus tahan lama hitam tebal abu kotoran sapi dicampur dengan sedikit minyak yang cocok untuk menahan keausan. Kadang itu terdiri dari abu dicampur dengan mentega. lapisan ini disebut Kanti (mencakup). Meskipun kadang-kadang disamakan Ishtalinga menjadi miniatur atau gambar dari Sthavaralinga, tidak begitu. Ishtalinga sebaliknya dianggap Tuhan Siwa sendiri dan ibadah adalah digambarkan sebagai Ahangrahopasana.
Jadi, untuk Lingayat ini merupakan representasi amorf Allah. Lingayat demikian berarti pemakai ini sebagai Ishta Lingga Lingga. Di sini kata Ishta adalah istilah Sansekerta yang berarti 'memuja' atau 'yang diinginkan'. Tidak seperti Advaitins Namun, Lingayat tidak memperlakukan Ishtalinga hanya sebagai representasi Allah untuk membantu dalam mewujudkan Allah tetapi menyembah Ishtalinga dirinya sebagai Tuhan. Seperti kebanyakan brahmana, Lingayat hanya makan makanan vegetarian dan tidak harus mengkonsumsi daging dari segala jenis termasuk ikan. Minum minuman keras sangat dilarang.
g. Sekte Saiwa Lainnya
Akas Mukhi, Gudara, Jangama, Karalingi, Nakhi, Rukhara, Sukhara, Urdhabahu, Ukkara yang kesemuanya adalah sekte-sekte Saiwa.
3. Sakta
Para pengikut Sakta adalah pemuja Dewi, yaitu Ibu universal. Daksini, Wami’s Kanceliya, Karari kesemuanya ini adalah sekte-sekte Sakta. Kitab Agama dan Tantra adalah termasuk dalam kitab Smrti dan memberi banyak pengaruh terhadap eksistensi Hindu di dunia tak terkecuali Indonesia. Menurut suatu penelitian, kitab Agama atau Tantra tidak didasarkan kepada Veda secara langsung, tetapi isinya saling melengkapi dan usianyapun jauh lebih muda. Tidak ada unsur pertentangan meskipun ada perbedaan antara Veda dengan Agama (Tantra). Justru yang diharapkan kemudian umat Hindu berpegang tidak hanya pada kitab Sruti, tetapi berpegang pula pada kitab-kitab Agama.
Menurut Bandi Pandit, (2006:36), Agama, atau yang juga dikenal dengan Tantra adalah kitab sektarian dari tiga teologi Hindu yang utama dalam tradisi agama Hindu, yaitu Vaishnava, Saivisme dan Shaktisme. Vaishnava memuja kenyataan yang mutlak sebagai Vishnu. Saivisme memuja kenyataan yang mutlak sebagai Siva. Dan Shaktisme menyatakan bahwa kenyataan mutlak itu adalah Ibu Mulia jagat raya ini.
Agama Shakta menjelaskan tentang peraturan dalam membangun tempat suci untuk mengukir dan membuat pratima dewa-dewi. Agama Shakta atau Tantra memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap keberadaan Hindu di Indonesia, dilihat dari berbagai bentuk bangunan suci seperti candi di jawa dan Pura, gerbang Pura maupun gerbang rumah (paduraksa) di Bali.
Pengikut Tantra kemudian disebut Tantrik. Para Tantrik melakukan pemujaan kepada Shakti . Pada dasarnya ajaran ini bagian dari Sivaisme. Jadi sebenarnya yang dimaksud Tantrayana tidak lain adalah pemuja Shakti atau Dewi sebagai pusat perhatiannya.
Ada beberapa hal penting menyangkut ritual-ritual Tantra, salah satu ritual yang dikenal sebagai Cakra Puja atau “puja pada lingkaran” . Dalam ritual ini menurut Goris (baca; Sekte-sekte di Bali, diterjemahkan oleh P.S. Kusumo Sutojo), pria dan wanita yang menjadi penyembah bertemu pada tengah malam di suatu tempat sepi, misalnya sebuah kuburan, kemudian melakukan hubungan “seksual suci”, ini merupakan penyatuan laki-laki dan perempuan. Tentu pendapat Goris ini terkesan menyimpang dari etika, padahal sejatinya yang dimaksud dengan cakrapuja adalah membangkitkan kekuatan (energy kundalini) yang terpendam dalam tubuh dengan melaksanakan beberapa tahapan yang disebut dengan istilah Panca Makara, yaitu: Madya, Mangsa/Mamsa, Matsya, Mudra, dan Maithuna.
4. Bermacam-macam Sekte Lainnya
Sekte Gaura memuliakan Matahari, Ganapatya memuja Ganesa dan Kaumara memuliakan Skanda.
Yang bukan Brahmana dari India Selatan adalah Naidu, Kamma Naidu, Catty, Mudaliar, Goundar, Pillai, Nair, Nayanar dan Reddy.
Nanak Sahi terdiri atas 7 golongan, yaitu Udasi, Ganibaksi, Ramrayi, Sutra Sahi, Gowinda Sinhi, Nirmala, Naga, Baba Lali, Prana Nathi, Sadhu, Satnami, Siwa Narayani, kesemuanya ini adalah macam-macam sekte lainnya.
5. Arya Samaj Dan Brahma Samaj
Penganjur Arya Samaj adalah Swami Dayananda Saraswati yang lahir di Kathiawar pada tahun 1824. Samaj ini lebih bersifat Institusi Sosial ketimbang latar belakang agama. Ia memiliki Gurukula, Mazab dan Pathasala. Shuddhi Sabha adalah cabang yang baru dari Arya Samaj.
Brahma Samaj diperkenalkan pada awalnya oleh raja Ram Mohan Roy, pada permulaan abad ke 19. Para pengikut Brahma Samaj melakukan pemujaan patung. Pada tahun 1860 Kesab Candra Sen mengadakan beberapa perubahan, sehingga sekarang ini ada 2 cabang dalam samaj ini, yaitu Adi Brahma Samaj yang berpegang pada ajaran-ajaran yang ditetapkan oleh Raja Ram Mohan Roy dan Saddharana Brahma Samaj yang sedikit lebih modern, yang mengikuti Kesab Candra Sen lebih akrab sifatnya. Samaj ini memiliki pengikut di bengala.
6. Jaina Dan Sikh
Jaina
Penganjur pertama dari sekte ini adalah Parswanatha. Penyebar aktif yang pertama adalah Mahawira. Sekte Jaina dijumpai dalam jumlah yang besar terutama di pesisir barat. Mereka dibagi menjadi 2 sekte utama, yaitu Swetambara (yang berpakaian putih) dan Digambara (yang telanjang).
Sekte jaina tidak mengakui ke-Tuhan-an sumber weda mereka tidak percaya pada suatu Dewata Tertinggi. Mereka menghormati orang-orang suci atau orang-orang shaleh yang digelari Tirthankara yang berdiam dan di persemayaman surgawi dan yang dengan disiplin lama meningkatkan dirinyasendiri ke kesempurnaan Tuhan. Gambaran atau patung dari satu atau lebih para Tirthankara ini ditempatkan pada setiap kuil pengikut Jaina.
Sekte Jaina menetapkan secara ketat hidup vegetarian dan terikat dengan kehidupan yang suci. Mereka melaksanakan Ahimsa. Para pengikut Jaina yang ketat menapis air sebelum minum, menyapu tanah dengan sebuah sikat sebelum melewatinya atau mendudukinya, tidak pernah makan atau minum pada malam hari dan kadang mengenakan kain tipis menutup mulut untuk menjaga resiko menelan serangga kecil-kecil.
Ada 2 golongan pengikut Jaina, yaitu Srawaka yang melibatkan dirinya dalam kegiatan duniawi para Yati atau biksu yang menjalani kehidupan pertapa.
Sikh
Orang-orang Sikh sesungguhnya adalah orang-orang Hindu.kepatuhan terhadap guru mmeberikan keterlepasan dari kelahran berikutnya, merupakan keyakinan orang-orang Sikh. Menerima 5 macam Kaka, yaitu Kes (tidan memotong rambut), Kacha (celana tanggung), Kara (gelang kaki dari besi), kirpan (belati baja), dan Kangha (sisir bergigi kecil yang dipasang pada rambut).
Para Udasi adalah mereka yang mengikuti aturan pertapa dari Nanaksahi Sikh, Sricand, putra dari Guru Nanak memasuki tahapan sanyasa dan para Udasi adlaah pengikutnya. Laksmicand, putra Guru Nanak yang lainnya menjalani kehidupan sebagai kepala rumah tangga dan Wedi adalah para pengikutnya. Nirmala merupakan pertapa yang mengikuti Guru Gowinda Sinngh.
Akali adalah para pejuang yang gagah berani yang mengenakan pakaian warna biru menyolok dan sorban warna hitam.
Ajaran-ajaran Guru Nanakterkandung dalam bukupertama dari Adi Granth. Tak seorang Sikh pun yang menghisap rokok atau tembakau.
7. Para Sadhu Dan Sannyasin
Sembah sujud kepada Rsi jaman dahulu, para pengamat, orang-orang suci, Sannyasin paramahansa dan Para sadhu yang merupakan kasanah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan Tuhan yang menuntun nasib duniadi masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Setiap agama memiliki sekumpulan para pertapa yang menjalani penghidupan pengasingan dan meditasi. Ada yang menjadi biksu dalam agama budha, para Fakir dalam Islam, Fakir sufistik dalam Sufisme, pendeta dan paderi dalam agama Kristen. Kemuliaan agama akan hilang selama sekali apabila kamu menghilangkan para pertapa dan Sannyasin ini atau mereka yang menjalani suatu kehidupan perenungan Ilahi dan penolakan duniawi.
Mereka-mereka inilah yang menjaga dan menyelenggarakan masalah agama di dunia ini. Mereka-mereka inilah yang memberikan hiburan kepada para kepala rumah tangga ketika mereka dalam kesulitan dan duka cita. Mereka merupakan para kurir dari pengetahuan atman dan kedamaian surgawi. Mereka merupakan pertanda dari kebijaksanaan dan kedamaian Tuhan. Mereka merupakan penyebar dari ilmu adhyatmaika dan wahyu-wahyu Upanisad. Mereka menyembuhkan yang sakit, menyenangkan yang tanpa harapan dan merawat yang berada di tempat tidur. Mereka memberikan harapan kepada yang tanpa harapan, menggembirakan yang dirudung duka, menguatkan yang lemah dan membangkitkan keberanian yang malu-malu dengan memberikan pengetahuan Wedanta dan makna serta manfaat dari mahawkya “TAT WAM ASI”.
8. Dasanama Sannyasin
a. Saiwa
Di India Selatan terdapat Sannyasin Tamil yang termasuk pada kowilur Mutt dan Dharmapuram Adhinam. Mereka tidak termasuk golongan Sri Sankara dan mereka adalah para Saiwa.
b. Naga
Naga adalah para Sannyasin Saiwa, yang keadaannya telanjang. Mereke melumuri badannya dengan abu. Mereka memiliki janggut dan disimpul mati.


c. Udasi
Golongan pertapa Guru Nanak disebut Udasi yang berhubungan dengan para Sannyasin dan Wairagi. Mereka tidak mengacuhkan kenikmatan duniawi (Udasina). Itulah sebabnya mereka disebut Udasin.
d. Wairagi
Seorang Wairagi adalah yang terbebas dari nafsu dan kasih sayang dan mereka merupakan sekte Waisnawa. Mereka pemuja Rama, sita dan Hanuman. Mereka membaca Ramayana dari Tulasidas. Para pengemis Waisnawa dari golongan Ramanandi adalah orang-orang Wairagi. Aturan kesederhanaan ini diajarkan oleh Sri Ananda yang merupakan murid ke-12 dari Ramananda.
e. Rama Sanehi
Penganjur golongan ini adalah Ramcaran yang lahir pada tahun 1718 di sebuah desa dekat Jaipur di Rajasthan. Para peminta-minta Rama Sanehi ada 2 golongan, yaitu widehi yang telanjang dan Monihi yang mengenakan 2 potong pakaian dari kain kapas yang dicelup merah dalam tanah liat kecoklatan. Biara mereka ada di Sahapur Rajasthan. Sekte Rama Sanehi memiliki para pengikut yang terbesar di Mewar dan Alwar, namun mereka juga dijumpai di Bombay, Gujarat, Surat, Puna Ahmedabad, Hyderabad dan Waranasi.
f. Kabir Panthi
Kabir Panthi adalah pengikut dari orang suci kabir, yang banyak terdapat di seluruh propinsi India atas dan Tengah. Cabang-cabangnya ada 12 buah, antara lain adalah Kabir caura yang berada di Waranasi yang merupakan sebuah biara besardari kabir Panthi. Dharamdas adalah murid Kabir yang utama. Para pengikutnya diharapkan untuk memiliki kepatuhan yang mutlak terhadap para Guru, dalam pemikiran, perkataan dan perbuatan. Mereka harus melaksanakan kejujuran, kedermawanan, tidak menyakiti dan pengasingan diri. Para pengikut Kamal, putra Kabir melaksanakan Yoga.

g. Dadu Panthi
Dadu panthi membentuk satu aliran Waisnawa. Dadu, penganjur sekte ini merupakan seorang murid dari salah satu guru-guru Kabir Panthi. Para pengikutnya memuja Tuhan Rama.
Dadu adalah seorang pembersih kapas, yang lahir di Ahmedabad. Ia berkembang kira-kira tahun 1600. Dadu Panthi terdiri dari 3 golongan yaitu Wirakta, yang berkepala gundul dan memiliki satu pasang pakaian dan satu kendi air; naga, yang membawa senjata dan yang dianggap sebagai tentara dan Wistar Dhari yang melakukan pekerjaan sambilan dari kehidupan biasa.
Dadu Panthi banyak terdapat di Marwar dan Ajmer. Tempat pemujaan utama mereka berasal dari Naraina, dekat Sambhur dan Jaipur. Bagian-bagian dari tulisan kabir disisipkan dalam kitab suci mereka.
h. Gorakhnath Panthi
Gorakhnath merupakan seorang yang hidup sejaman dengan Kabir. Ia dianggap sebagai inkarnasi Siwa dan mennyebut dirinya sebagai putra dari Matsyendranath dan cucu dari Adinath. Kuilnya terletak di Gorakhpur, Uttar Prades. Bhartrihari adalah seorang murid dari Gorakhnath.
Goraksa-Sakata, Goraksa-Kalpa dan Goraksa-Nama ditulis oleh Gorakhnath dalam bahasa sanskreta.
Pengikut Gorakhnath biasanya disebut Kanphata, karena mereka melubangi telinganya dan memakai anting-anting pada saat inisiai mereka. Mereka memuja Dewa Siwa.
i. Nimbarka Sampradayi Ramanuja Sampradayi
Ada para Sadhu dari Nimbarka Sampradaya, yang merupakan sekte dari Waisnawa. Para Sannyasin dari Ramanuja Sampradaya mengenakan pakaian warna orange, benang suci dan jambul serta Tri-danda atau 3 tongkat. Sekarang ini jumlah mereka sangat jarang.

j. Sekte Parinami
Sri Pirannath, adalah penganjur sekte ini, yang lahir pada tahun 1675 di Jamnagar, distri Rajkot, Kathiawar. Beliau adalah Diwan dari Raja Jam Jasa. Pengikutnya melaksanakan Ahmsa, Satya dan Daya. Tanpa kekerasan, kejujuran dan kasih sayang. Mereka mempelajari kitab-kitab suci, Kul Jam Swarup atau Atma-Bodha dalam bahasa Hindi yang mengandung ajaran-ajaran Sri Prannath, yang terdiri dari 18.000 Caupais. Mereka memuja Bala Krsna, yaitu Krsna sebagai seorang pemuda kecil.
Para pengikutnya kebanyakan dijumpai di Punjab, Gujarat, Assam Nepal, dan Bombay. Dua buah Mutt atau biaranya terdapat di Jamnagar dan di Pamna.


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“SIVASIDDANTA”

Minggu, 08 Desember 2013

DAKSINA

DAKSINA

Daksina berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah, daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten. Dalam kitab Yayur Veda XXXX.1 ada disebutkan bahwa Sthana Hyang Widhi Wasa adalah alam semesta atau Bhuana Agung. Hyamh Widhi berada pada alam yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Tidak ada bagian bhuana agung ini tanpa kehadiran Hyang Widhi. Demikian pula dalam kitab Ayur Weda pada bagian terakhir mantra yang disebutkan bahwa nama Hyang Widhi pertama adalah OM dan badannya adalah alam semesta atau bhuana agung ini. Hyang Widhi juga disebut parama atma. Sebagai jiwa dari  bhuana alit beliau disebut atman. Banten daksina disamping lambang penghormatan juga sebagai lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhi Wasa. Hal ini disebutkan dalam puja pengantar daksina sebagai berikut: Om pakulun bhattara Visnu alingga haneng daksina sesantun dan seterusnya.
Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nva
Daksina sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam bahan-bahan yang membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang membentuk Daksina, yaitu :
1.      Bebedogan, dibuat dari daun janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
2.      Serobong Daksina, disebut juga sebagai Serobong Bebedogan dibuat juga dari daun janur yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi lapisan pada bagian tengah dari bebedogan, segala bahan daksina ini masuk kedalam serobong daksina. Serobong daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi.
3.      Tampak, dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang mengarah pada delapan penjuru. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput.
4.      Telor itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat Taluh. Telor itik yang dibungkus ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang menghuni bumi ini. Telur itik juga sebagai lambang dari sifat-sifat satwam.
5.      Beras, beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat manusia di alam raya ini.
6.      Benang Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis dari penghubung Jiwataman yang tidak akan berakhir samapai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang berasal dari paratman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
7.      Uang Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol Bhatara Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Angka 225 itu kalau dijumlahkan menjadi angka sembilan angka suci lambang Dewata nawa sanga yang berada di sembilan penjuru alam Bhuana Agung.
8.      Pisang, Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan ajaran Tri Kaya Parisudha.
9.      Porosan dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Tri Murti. Tujuan bakti pada Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada saat memelihara sesuatu yang aptut dan wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra untuk menuntun umat manusia saat meniadakan sesuatu yang patutdan wajar dihilangkan.
10.  Gegantusan, unsur upakara ini lambang didunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan tingkatan karmanya.
11.  Pesel-peselan dan Bija Ratus, unsur upakara ini merupakan lambang hidup bersama di dunia ini untuk menyatukan berbagai bibit. Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama dalam menelorkan suatu ide bersama. Sebelum ide bersama itu muncul sebagai suatu kesepakatan. Setiap pihak wajib mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah yang di sebut bija yang harus diratus menjadi satu ide bersama.
12.  Kelapa, sebagai unsur yang paling utama dalam Banten Daksina. Buah kelapa dari kulit dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu semuanya melambangkan sapta patala dan sapta loka. Mengapa buah kelapa yang dipakai daksina harus dikupas dan dibersihkan kulitnya hingga kelihatan batoknya. Serabut kelapa itu adalah lambang pengikat indria. Karena Daksina itu lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhitentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang widhi akan dapat kita capai apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Kitalah yang harus mengikat indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang bijaksana.
Mytologi adanya kelapa
Kelapa memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang dicukil dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa. Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga menugaskan Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan bidadari yang sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari ini bertugas menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat Dewa Brahma melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat terperanjat hingga beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata seribu saat menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian  cantiknya itupun  turun kedunia menggoda raksasa kembar tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh. Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada kelapa di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan yang sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat Hindu.

DENGAN DAKSINA MEMBINA HIDUP TERHORMAT
Hidup terhormat adalah hidup yang dijalankan di atas relnya Dharma. Rejeki yang didapatkan untuk membiayai hidup itu diperoleh secara terhormat. Demikian pula status sosial atau kedudukan terhormat itu dicapai melalui cara-cara yang terhormat pula. Dipergunakan banten Daksina dalam upacara Yajna dimaksudkan juga untuk memebina tumbuhnya kesadaran spiritual agar selalu dapat berbuat terhormat dalam hidup ini. Hidup terhormat bukan untuk dipamerkan didepan halayak ramai. Artinya kalau didepan halayak ramai barulah kita tampil terhormat. Kalau tidak ada yang menyaksikan berprilaku terhormat itu tidak diupayakan. Membina hidup terhormat bukanlah berarti hidup yang gila hormat. Seoramg akan terhormat apabila dalam menjalani hidup ini selalu menempuh jalan hidup diatas norma-norma yang dibenarkan baik oleh norma agama maupun norma-norma lainnya yang berlaku. Di dalam kitab Ayur Veda XX.25 disebutkan bahwa untuk mencapai kehidupan yang terhormat itu (Daksina) harus diawali dengan perjuangan diri yang penuh disiplin. Perjuangan yang penuh disiplin itu disebut dengan Brata. Brata artinya janji diri yaitu suatu disiplin hidup timbul dari niat diri sendiri untuk melakukan sesuatu disiplin hidup. Disiplin hidup itu tidak berasal dari orang lain. Disiplin hidup ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita hidup. Disiplin hidup itu ditempuh samapai mencapai tujuan yang suci itu. Brata itu meliputi disiplin hidup yang bersifat jasmaniah dan disiplin hidup rohaniah. Brata bertujuan untuk mencapai ilmu engetahuan tentang kehidupan keduniawi dalam artian yang positif (Apara Vidya) dan pengetahuan Rokhaniah (Para Vidya). Kedua ilmu itu bertujuan membangun hidup yang seimbang lahir dan batin. Perpaduan dua ilmu tersebut untuk diarahkan mengendalikan indria terutama lidah. Lidah dikendalikan agar jangan mengucapkan kata-kata yang mengandung kejahatan, kebohongan, fitnah dan tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Dari Brata pikiran dan kata-kata dilanjutkan dengan Brata prilaku. Brata prilaku itu meliputi tidak mencuri, tidak membunuh, dan tidak berjianah. Dari Brata ini diharapkan mencapai Diksa. Diksa itulah puncaknya Brata. Suatu study yang telah mencapai hasil yang disebut tamat. Kalau sudah mencapai Diksa itu barulah boleh menikmati Daksina. Daksina itu adalah suatu hasil berupa materi dan non materi. Dewasa ini banyak orang mendapatkan suatu perolehan yang tidak berupa Daksina. Artinya mendapatkan materi maupun non materi secara tidak terhormat. Memenuhi kebutuhan hidup dengan hasil yang tidak diperoleh secara terhormat maka orang tersebut akan sulit menyampaikan pesan-pesan suci Veda. Orang yang hidup dengan hasil yang diperoleh secara tidak terhormat jiwanya akan ditutupi oleh avidya yang ditimbulkan oleh hasil yang diperoleh secara tidak terhormat itu. Orang yang hidupnya dari hasil Daksina akan hidup keyakinan yang mantap tanpa dibayang-bayangi oleh rasa berdosa. Hidup yang demikian itulah disebut Sraddha yaitu hidup dengan keyakian. Karena itulah marilah banten Daksina dipakai sebagai simbol keagamaan yang sakral untuk mencari penghidupan yang disebut Daksina.
Mengapa kelapa Daksina serabutnya dikerik bersih
Salah satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah kelapa yang dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai bahan pokok pembuatan banten daksina serabutnya harus dikerik. Serabut kelapa itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria yang sangat pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria tidaklah pantas mendapatkan penghormatan Daksina. Demikian pula pemberian yang terhormat yang disebut daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih yang bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang mampu melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus merusak indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik. Yang dimaksudkan disini adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad menyebutkan indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta, pikiran ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat kereta itu sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu larinya cepat dan terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya kuda tetap harus berada dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut kelapa yang harus dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat indria yang dapat menyesatkan sang diri dari samsara. Dalam upacara-upacara besar banten Daksina digunakan daksina yang besar pula. Misalnya upacar penebusan Oton yang bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran. Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton. Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan daksina gede. Daksina gede itu tergantung Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya lima butir, telornya lima butir, pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga berjumlah lima.
Banten Daksina menurut Lontar Parimbon Bebanten dalam bentuk uang ada sembilan jenis yaitu, Utamaning Utama 160.000, Madyaning Utama 80.000, Nistaning Utama 40.000, Utamaning Madya 50.000, Madyaning Madya 25.000, Nistaning Madya 16.000, Utamaning Nista 15.000, Madyaning Nista 8.000, Nistaning Nista 4.000. ini adalah sembilan gambaran umum tentang tingkat Daksina. Dalam bentuk banten Daksina dapat dibagi menjadi lima yaitu :
  1. Daksina Alit untuk upacara sehari-hari. Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
  2. Kalau isinya dilipatkan dua kali disebut Daksina pakala-kalaan. Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
  3. Kalau isinya dilipatkan tiga kali disebut Daksina Krepa, Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
  4. Kalau empat kali disebut Daksina Gede atau Daksina Pamogpog. Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar.
  5. Kalau isinya dilipatkan lima kali disebut Daksina Galahan, demikian beberapa jenis Daksina dalam bentuk uang dan dalam bentuk Banten. Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
    Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar.

Penyatuan Siva Sidhanta yang terdapat di dalam daksina adalah penyatuan sekte- sekte yang yang pada umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan daksina tersebut. Sebenarnya didalam daksina ini telah terjadi penyatuan sekte Siwa sidantha tetapi yang lebih dominan terlihat adalah sekte Brahma kalau kita kaji dari bahan yang digunakan misalnya bahan Kelapa dan telur itu merupakan lambang dari buana agung dan didalam proses suatu penciptaan alam semesta sehingga Dewa Brahma yang lebih berperan didalam hal ini.
Beberapa gambar Banten Daksina beserta cara pembuatannya, sebagai berikut:

daksina alit
Perlengkapan Banten Daksina alit sebagai berikut :
1. Wakul                                                          2. Tapak
                                   
3. Kojong                                                        4. Gegantusan
                                   
5. Bija ratus                                                     6. Peselpeselan
                                   
7. Basen daksina                                             8. Base enjokan
                                   
9. Wadah dadan                                              10. Porosan
                                   
11. Tegteg daksina
Adapun bahan-bahan yang diperlukan sebagai berikut:
1. Uang kepeng                                               2. Bunga
                                                  
3. Kapur sirih                                                  4. Buah Pinang
                             
5. Daun sirih                                                    6. Pelawa
                          
7. Biu mas                                                       8. Telor itik mentah
                                   
9. Pangi                                                           10. Benang bali
                                   
11. Kelapa                                                       12. beras