BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Agama
Hindu, sebagaimana agama yang lainnya, memiliki hari-hari suci. Dalam agama Hindu,
hari-hari suci disebut dengan Rerahinan
yang berasal dari kata ''rarahina''. ''Ra'' dalam kata Rarahina itu artinya sangat terhormat.
Seperti kata ''ra'' dalam kata ''Raja'' yang artinya kelahiran yang terhormat.
Sedangkan kata ''rahina'' artinya hari. Dari ''ra-rahina'' terus menjadi
Rerahinan dalam bahasa lisan. Dalam istilah Indonesia disebut hari raya,
artinya hari besar. Kata ''raya'' artinya besar. Rerahinan ini adalah hari-hari tertentu yang dipandang suci dan
keramat untuk melakukan pemujaan kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya beserta Bhatara,Bhatari dan leluhur. Bhatara dan Bhatari berasal dari kata “bhatr” yang berarti pelindung. Jadi Bhatara dan Bhatari adalah
aktivitas Sang Hyang Widhi sebagai
pelindung ciptaanya. Pemujaan atau penghormatan kepada Sang
Hyang Widhi Wasa beserta segala
manifestasinya diselenggarakan dengan suatu yajnya.
Yajnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja jadi Yajnya
adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Pada dasarnya yajnya
adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena alam dan manusia diciptakan oleh Sang Hyang Widhi Wasa melalui yajnya.
Bhagawadgita Bab
III sloka 10 dan 14 menyebutkan :
puro ‘vacha prajapatih
anana prasavishya dhvam
asha vo ‘stv ‘shta kamadhuk”.
Terjemahan:
Pada
jaman dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yajnya dan beliau
bersabda; Dengan ini engkau akan berkembang biak dan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
“Annad bhavanti
bhutani
prajayad
annasambhavah
yajnad
bhavati parjanyo
yajnah karma samudbhavah”.
Terjemahan:
Karena
makanan, makhluk hidup,
Karena
hujan, makanan tumbuh,
Karena
persembahan, hujan turun,
Dan persembahan
lahir karena kerja.
Sloka di atas menjelaskan bahwa manusia diciptakan melalui yajnya
maka untuk mencapai tujuan dan keinginan manusia harus beryajnya. Kesempurnaan
dan kebahagiaan tak mungkin akan tercapai tanpa adanya Yajnya.
Dalam pelaksanaannya yajnya memiliki
dua klasifikasi yaitu Nitya yajna
yaitu yajna yang dilakukan setiap hari dan Naimitika yajna atau yajna
yang dilakukan pada hari-hari tertentu (Sanjaya, 2010: 65)
Hari
suci agama Hindu yang termasuk Naimitika
atau yang dilakukan pada hari-hari tertentu salah satunya yaitu hari raya Nyepi.
Hari raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang diselenggarakan setahun sekali
sebagai pergantian atau tahun baru saka. Hari raya Nyepi dirayakan setiap sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10)
yang biasanya jatuh pada bulan Maret.
Hari raya Nyepi merupakan Hari Raya Umat Hindu untuk
memperingati perayaan Tahun Baru Caka. Nyepi berasal
dari kata “sepi”, yang berarti sepi, hening, sunyi, senyap. Seperti
namanya perayaan Tahun Baru Caka bagi umat hindu dirayakan sangat berbeda dengan perayaan Tahun Baru
lainnya, dimana perayaan tahun baru umumnya identik dengan gemerlapnya pesta
dan kemeriahan, tetapi umat Hindu dalam merayakan tahun baru Caka dilaksanakan
dengan Menyepi, “Sepi”, “Hening”,”Sunyi”,”Senyap”. dalam pelaksanaanya,
hari raya Nyepi memiliki rangkaian perayaan sebagai berikut:
1) Upacara Melasti disebut juga Makiyis, Melasti sendiri berasal dari kata “male”. Dalam Agama Hindu male dimaknai sebagai kekotoran. Jadi tujuan dari pelaksanaan
upacara melasti adalah “Nganyudang malaning gumi Ngamet tirtha
amerta” yang artinya Menghanyutkan
atau membuang kekotoran alam dengan menggunakan air kehidupan (tirtha amertha). Lontar Sang
Hyang Aji Swamandala juga menyebutkan “Melasti
ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa,
letuhing bhuwana”. Yang magsudnya Melasti
adalah meningkatkan Sraddha dan bhakti pada para Dewata manifestasi
Tuhan Yang Maha Esa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau kekotoran diri yang
dapat membawa manusia menderita lahir batin dan mencegah kerusakan alam.
2) Tawur/Pecaruan,
tawur berasal dari kata nawur atau membayar hutang. Dalam agama
Hindu, ada tiga hutang yang disebut dengan Tri
Rna yaitu tiga jenis ketergantungan dalam hidup manusia yang membawa ikatan
hutang, terdiri atas Dewa Rna, Pitra Rna dan
Rsi Rna. Dewa Rna yaitu hutang kepada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa
dalam
manifestasinya sebagai para dewata yang telah memberikan anungrahnya kepada
setiap mahluk, dapat dibayar dengan melakukan upacara Dewa Yajnya dan Bhuta Yajnya. Pitra Rna
yaitu hutang kepada para leluhur termasuk orang tua
yang berhubungan dengan kelahiran kita serta perhatiannya semasa hidup dapat
dibayar dengan melakukan upacara Pitra Yajnya dan Manusa Yajnya. Rsi Rna yaitu hutang kepada para orang suci, pemangku dan
para guru lainya yang telah berjasa dalam memberikan Ilmu pengetahuan. Hutang
ini dapat dibayar dengan melakukan upacara Rsi Yadnya.
Berdasarkan atas pembagian Tri Rna di atas, maka upacara Tawur/pecaruan termasuk ke dalam Dewa Rna karena tujuan dari tawur/pecaruan adalah untuk membayar
hutang kepada bhuta kala. Bhuta Kala menurut Lontar Purwa Bhumi
Kemulan dan Lontar Siwa Gama,
berasal dari kata : Bhuta, artinya sesuatu yang
sudah ada; Kala, artinya kekuatan atau
energi. Penggunaan istilah ini sering disatukan sebagai Bhuta kala, jadi bhuta kala
adalah kekuatan atau energi yang telah dimiliki oleh alam atau lingkungan baik
yang bersifat membangun atau pun yang bersifat merusak. Energi ini disomya atau dinetralisisr dengan
melaksanakan upacara tawur/pecaruan yang
tujuannya adalah agar energi-energi negatif dari bhuta kala tidak mengganggu
umat manusia di dunia ini khususnya pada saat akan menyambut tahun baru caka.
Selain itu juga fungsi tawur ini untuk menyucikan para bhuta kala agar bisa menyatu dengan sang hyang tunggal (Sang Hyang Widhi Wasa) sesuai dengan
mantra yang menyebutkan bahwa :
“Om
lukat sira sang bhuta dengen masurupan sang kalika, lukat sang kalika masurupan
ring bhatari durga, lukat bhatari durga masurupan ring bhatari uma, lukat
bhatari uma masurupan ring bhatara guru, lukat bhatara guru masurupan ring sang
hyang tunggal, lukat sang hyang tunggal masurupan ring sang hyang sangkaning
paran, apan sang hyang sangkaning paran rat kabeh siddha mawali paripurna. Om
siddhir astu tat astu ya namah swaha”
Adapun terjemahan mantra di atas
adalah: Oh Hyang Widhi, sucikanlah sang bhuta menjadi sang kalika, sucikanlah sang
kalika menjadi bhatari durga, dari bhatari durgha menjaadi bhatari uma, dari bhatari uma menjadi bhatara guru. Bhatara guru disucikan menjadi Ia Hyang Tunggal (tuhan), yang
memiliki banyak nama, agar ia kembali ke asalnya. Ya Tuhan, semoga ini
terlaksana dengan baik.
Upacara tawur/pecaruan ini dilakukan mulai dari masing-masing rumah sampai
tingkat propinsi dengan mengambil tempat diperempatan atau di alun-alun.
Upacara ini sebagai penyucian kepada Bhuta
Kala (Roh-roh jahat) agar menjadi suci sehingga kekuatan-kekuatan Bhuta Kala tidak menggangu. Disamping itu upacara tawur bertujuan untuk memohon kepada Ida Sang Hyang widhi Wasa agar
menyucikan dan mengharmoniskan kembali Bhuana
Agung (alam semesta) beserta segala isinya.
3) Brata Penyepian, Pada hari raya Nyepi umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian yang bertujuan
untuk menyepikan diri guna mendapatkan ketenangan lahir batin (Sanjaya, 2010: 94).
Catur Brata berasal dari kata catur dan brata, catur artinya
empat, Brata berasal dari kata
Sansekerta “Vrata” yang artinya
sumpah atau sumpah keagamaan untuk melakukan suatu disiplin tertentu selama
waktu tertentu, seperti puasa, melakukan penyesalan, japa atau mengucapkan
mantra kitab suci secara berulang-ulang, pemujaan atau meditasi. Jadi catur brata adalah empat sumpah
keagamaan untuk melakukan suatu disiplin tertentu selama waktu tertentu seperti
melakukan puasa, penyesalan, japa atau mengucapkan mantra suci secara
belulang-ulang, melakukan pemujaan dan berneditasi. Catur Brata yang dilakukan oleh umat Hindu pada waktu Nyepi adalah
: amati karya (tidak bekerja), amati lelungaan (tidak bepergian), amati geni (tidak menyalakan api) dan amati lelangguan (tidak menikmati
hiburan).
Pendit (2001: 45) menjelaskan bahwa Nyepi atau sipeng
dilaksanakan sebagai kelanjutan dari pabersihan bagi alam semesta. Nyepi adalah
pabersihan diri manusia sendiri (bhuana
alit). Sedangkan sehari sebelum hari raya Nyepi telah dilaksanakan upacara tawur/mecaru yang merupakan sarana
pabersihan alat-alat persembahyangan sebagai media konsentrasi jiwa dan simbol
untuk penyucian alam semesta (bhuana
agung).
Tawur
kesanga juga merupakan momentum pengejawantahan tatwa kanda empat dalam rangkaian
pelaksanaan hari raya Nyepi. Rangkaian upacara tersebut berlangsung sebagai
bagian dari budaya spiritual masyarakat Bali diberbagai tempat dan
dilangsungkan di bangunan-bangunan sakral, seperti sanggah (tempat suci di lingkungan
keluarga), bedugul, sanggah taksu, pelangkiran, pura kahyangan tiga, pura
prajapati dan sebagainya.
Budhihartini dalam Pendit (2001: 182) menjelaskan
bahwa ada dua hal penting dalam melaksanakan upacara tawur kesanga yakni pecaruan
(korban suci) dan ngiderang ogoh-ogoh (mengarak
ogoh-ogoh) yang dilakukan secara sederhana namun sakral dan meriah sebagai
ekspresi rasa syukur dan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Pada akhir upacara tawur kesanga, dengan persembahan segehan (sesajen korban suci) sesuai tatwa kanda empat, doa yang dilantunkan, “ayua sira selempat selemput, apan sira sampun polih labha. – tidak
diperkenankan lagi mengganggu kehidupan manusia di dunia”. Sementara itu,
ogoh-ogoh yang merupakan perlambang bhuta
dan kala yaitu setan, jin roh jahat
dan sebangsanya dibuat menyerupai boneka raksasa sesuai tatwa kanda empat, sangat inpresif dan menakjubkan dalam paduan
panca warna : merah, putih, hitam, kuning dan poleng.
Ogoh-ogoh berasal
dari kata ogah-ogah yang
berarti ‘bergoyang-goyang’ ini dianggap sebagai simbolisasi dari bhuta kala atau juga energi negatif. Dalam
runtutan pelaksanaan tawur kesanga Ogoh-ogoh
akan diarak berkeliling kota atau desa, setelah Sampai di batas desa, ogoh-ogoh dibakar (pralina) agar unsur-unsur panca maha bhuta (api, air, tanah, udara
dan ether) kembali ke asalnya. Secara simbolik upacara itu menggambarkan dunia
kembali berada dalam keseimbangan
sinergi hidup dan kehidupan di alam semesta, Bali Post-denpasar, senin kliwon,
20 maret 2000 dalam (Pendit, 2001: 182-183).
Berdasarkan pada paparan di atas, terlihat bahwa
upacara tawur kesanga memiliki point
yang penting dalam rangkaian pelaksanaan hari raya Nyepi. Berbeda dengan apa
yang ada di Desa Padang Bulia, bahwasanya di desa Padang Bulia tidak
menggunakan ogoh-ogoh dalam rangkaian
upacara Nyepi. Setelah upacara tawur
kesanga dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan melaksanakan upacara Ngamuk desa.
Tradisi Ngamuk
yang dijumpai di desa Padang Bulia kecamatan Sawan kabupaten Buleleng tergolong
unik dan asing bagi umat Hindu yang ada di luar desa Padang Bulia. Keunikannya terlihat
dari sarana yang digunakan yaitu daun kelapa kering yang diikat menyerupai sapu
dalam bahasa bali disebut Prakpak.
Tradisi ini tergolong sakral karena
dipercaya memiliki sifat magis yang terlihat dari penggunaan prakpak yang dibakar (api prakpak). Prakpak yang dibakar ini merupakan simbul Agni atau Dewa Brahma yang
memiliki sifat panas yang dapat mengusir kekuatan negatif sehingga tidak
mengganggu umat manusia. Dalam agama Hindu, api merupakan salah satu komponen
yang penting terutama dalam pelaksanaan yajna. Seperti yang diuraikan dalam Rg
Weda Mandala I bagian 4 sukta 12, sloka 5 yang berbunyi sebagai berikut:
“Ghrtahavana
didiva
Prati sma risato
dana
Agni tram
raksaavinah”
Terjemahan:
Oh, Agni yang bercahaya, kepada-Mu
Minyak suci disiapkan menyala
Menumpas musuh yang dilindungi setan.
Berdasarkan sloka di atas, terlihat bahwasanya api memiliki
fungsi sebagai pembasmi musuh. Dalam tradisi Ngamuk, api prakpak
digunakan untuk menyerang kawan satu sama lain sehingga terlihat seperti perang
antara dua kelompok masyarakat. Namun inti dari pelaksanaan tradisi Ngamuk ini adalah memiliki tujuan untuk
mengusir kekuatan negatif sehingga diharapkan dalam melaksanakan brata
penyepian tidak ada kekuatan negatif
yang menggangu manusia.
Berdasarkan
pada paparan di atas, penyusun merasa tertarik untuk dapat mengkaji lebih dalam
mengenai tradisi Ngamuk serangkaian hari
raya Nyepi yang ada di desa Padang Bulia. Untuk itu penyusun mengambil judul “Tradisi
Ngamuk dalam rangkaian hari raya
Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng (kajian
nilai-nilai pendidikan Agama Hindu)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
atas latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai
berikut.
1.21
Bagaimana bentuk Tradisi Ngamuk dalam
rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada kabupaten
Buleleng?
1.2.2
Apa fungsi Tradisi Ngamuk dalam
rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada kabupaten
Buleleng?
1.2.3Nilai-nilai
pendidikan agama Hindu apa saja yang terkandung dalam tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari raya Nyepi?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum suatu
penelitian pasti dilandasi oleh tujuan yang ingin dicapai, karena berhasil
tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan itu sendiri.
Tujuan merupakan syarat mutlak dalam suatu penelitian. Adapun tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini tertuang dalam tujuan umum dan tujuan khusus yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ilmiah sudah pasti menginginkan hasil
yang maksimal dan mampu menjawab segala penomena atau gejala yang ditemukan
dalam masyarakat sehingga fenomena-fenomena tersebut tidak menimbulkan
penafsiran-penafsiran yang keliru di kalangan masyarakat yang beragama Hindu
maupun masyarakat umum. Tujuan yang dirumuskan secara jelas akan dapat
mengarahkan suatu penelitian kearah suatu hasil yang maksimal. Tujuan penelitian
senantiasa dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian,
sehingga menetapkan tujuan penelitian merupakan suatu hal yang penting bahkan
harus dilaksanakan.
Dalam penelitian
ini penyusun ingin mengkaji dan memahami lebih dalam mengenai Tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari raya Nyepi yang
ada di desa Padang Bulia kecamatan Sawan kabupaten Buleleng.
1.3.2 Tujuan
Khusus
Selai memiliki tujuan umum sebuah penelitian
diharapkan memiliki tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.2.1
Untuk mengetahui bentuk Tradisi Ngamuk
dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada
kabupaten Buleleng.
1.3.2.2
Untuk mengetahui fungsi Tradisi Ngamuk
dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada
kabupaten Buleleng.
1.3.2.3
Untuk mengetahui Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam
tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari
raya Nyepi.
1.4 Manfaat Penelitian
Suatu
penelitian diharapkan dapat menghasilkan sumbangan yang bermanfaat bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan sehingga menambah kazanah
pengetahuan secara umum. Sehubungan dengan hal tersebut maka penelitian ini
mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di kalangan masyarakat. Manfaat penelitian ini akan dituangkan ke
dalam manfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1 Maanfaat Teoritis
Manfaat penelitian ini secara teoretis adalah untuk
dapat mengetahui serta mendalami Tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari raya Nyepi
yang terdapat di Desa Padang Bulia Kecamatan
Sukasada Kabupaten Buleleng dalam tradisi Ngamuk yang dilihat dari nilai-nilai pendidikan agama Hindu. Manfaat lainnya, dapat menambah referensi
tentang tradisi yang berkaitan dengan rangkaian hari raya Nyepi bagi calon
peneliti lain yang tertarik dengan penelitian ini dan mereka dapat meneliti
dengan topik dan masalah yang berbeda. Selain itu, penelitian ini dapat memperkaya
pengalaman dan peningkatan kualitas dan kemampuan peneliti dalam penelitian.
1.4.2 Manfaat Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi kepada berbagai pihak terkait diantaranya:
1.4.2.1 Pemegang kebijakan pada instansi pemerintah (Departemen Agama),
lembaga adat, dan lembaga agama Hindu yang terkait dalam menangani
tradisi-tradisi yang ada di Bali agar dapat menggunakan hasil penelitian ini
sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pembangunan
pariwisata dalam pelaksanaan tradisi Ngamuk.
1.4.2.2 Pimpinan masyarakat (bendesa
pakraman, kelihan banjar) kiranya dapat menggunakannya sebagai sumber
rujukan dalam mengorganisasikan pelaksanaan tradisi yang ada di desa pakraman atau banjar yang
dipimpinnya.
1.4.2.3 Pimpinan dan atau tokoh agama Hindu (pandita, pemangku, dan cendekiawan), kiranya
dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk
memberikan pencerahan kepada sisya
atau umat Hindu.
1.4.2.4 Umat Hindu kiranya hasil penelitian ini dapat dipakai oleh umat se-dharma sebagai
bahan acuan dalam memperkuat posisi di
tengah-tengah perkembangan dunia global sehingga masyarakat dapat memahami
nilai-nilai pendidikan agama yang terkandung dalam sebuah tradisi sehingga
masyarakat dapat mempertahannkannya dan mewariskannya kegenerasi penerusnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI.
2.1 Kajian Pustaka.
Untuk mempermudah dalam melakukan penelitian maka penyusun
mengunakan skripsi ataupun hasil penelitian terdahulu yang relevan sebagai
bahan pertimbangan dalam menggali informasi. Adapun skripsi yang menjadi bahan
pertimbangan dalam menggali informasi dalam penelitian tradisi Ngamuk di desa
Padang Bulia adalah sebagai berikut:
Purnadiari (2007), dalam skripsinya yang berjudul
”Tradisi perang Sambuk dalam upacara Tawur Kesanga di desa adat pohgending desa
Pitra kecamatan Penebel kabupaten Tabanan (Persfektif pendidikan Hindu)”. Dalam
penelitian ini dijelaskan bentuk plaksanaan tradisi Perang Sambuk dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: (1) waktu
pelaksanaan, (2) Bentuk pelaksanaan dan (3) Rangkaian pelaksanaan Perang Sambuk. Fungsi tradisi Perang Sambuk mencangkup fungsi religi
dan fungsi pelestarian sedangkan nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung
dalam tradisi Perang Sambuk adalah nilai kebersamaan, nilai ketuhanan,
nilai kesejahtraan, nilai keselamatan dan nilai peningkatan moralitas dan
kebersamaan.
Hasil penelitian Purnadiari (2007), dalam
skripsinya yang berjudul ”Tradisi perang Sambuk dalam upacara Tawur Kesanga di
desa adat Pohgending desa Pitra kecamatan Penebel kabupaten Tabanan (Persfektif
pendidikan Hindu) memberikan kontribusi sebagai pembanding bentuk Perang Sambuk dalam penelitian tradisi Ngamuk yang dilakukan di desa Padang
Bulia kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng.
Ariyani (2010), dalam skripsinya yang berjudul
”Tradisi Ngembak Api di desa Kayu Putih kecamatan Banjar kabupaten Buleleng
(Analisis Pendidikan Agama Hindu)”.
Dalam penelitian ini dijelaskan pelaksanaan tradisi Ngembak Api adalah adat
kebiasaan yang turun temurun, tradisi ini memiliki fungsi yang sangat penting
bagi masyarakat Kayu Putih sebab dari proses pelaksanaan dari awal sampai akhir
terdapat keakraban antar masyarakat, belajar saling menghormati, sopan santun,
saling bekerja sama, saling menerima, disamping itu dapat berkomunikasi dari
tidak tahu menjadi tahu dan mendapatkan
informasi.
Hasil penelitian Ariyani (2010), yang berjudul ”Tradisi Ngembak Api
di desa Kayu Putih kecamatan Banjar kabupaten Buleleng” (Analisis Pendidikan
Agama Hindu) memberikan kontribusi sebagai pembanding fungsi Tradisi Ngembak
Api dalam penelitian tradisi Ngamuk yang
dilakukan di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng.
Artadana (2011), dalam skripsinya yang berjudul “Nilai Pendidikan Agama
Hindu Dalam Tari Legong Pada Piodalan Di Pura Puseh Desa Pakraman Cekik” mejelaskan Nilai-nilai pendidikan Agama Hindu yang
dapat dipetik dalam pementasan Tari Lelegongan ini adalah
pendidikan kebersamaan dimana para penari secara bersama-sama menarikan
Tari Lelegongan dan saling bahu-membahu dalam membuat
banten/sarana yang dibawa dalam pementasan Tari Lelegongan.
Pendidikan tattwa, susila, dan upacara dapat dilihat dari
kepercayaan masyarakat Desa pakraman Cekik tentang keberadaan Tari Lelegongan yang
dipergunakan sebagai pelengkap dalam upacara piodalan di
Pura Puseh. Sedangkan pendidikan apresiasi seni dan budaya dapat
dirasakan oleh para penari yang dapat mewujudkan kreasi seni yang merupakan
suatu kebanggaan dari pada para penari.
Penelitian Artadi (2011), yang berjudul “Nilai Pendidikan Agama Hindu Dalam Tari
Legong Pada Piodalan Di Pura Puseh Desa
Pakraman Cekik” memberikan kontribusi sebagai pembanding nilai pendidikan agama
Hindu yang terdapat dalam tradisi Ngamuk yang
ada di desa Padang Bulia.
2.2 Konsep
2.2.1
Tradisi Ngamuk
Tradisi menurut Soekanto dalam Supardan (2009: 207) merupakan suatu pola
prilaku yang telah menjadi suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga
menjadi adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun. Namun sebuah
tradisi tidak selalu berpihak kepada nilai kebaikan bahkan bertentangan dengan
nilai hak asasi manusia secara universal.
Wiana (2002: 114) menyatakan
memelihara tradisi tentunya tidak dengan cara membabi buta. Yang
dipelihara tentunya tradisi yang suci, yang masih relevan dengan kebutuhan masa
kini dan masa yang akan datang. Karena kebutuhan hidup pada masa lalu, masa
kini dan yang akan datang selalu berkembang. Karena dari itu memelihara tradisi
suci yang diwariskan oleh leluhur harus selalu dikreasi agar selalu serasi
dengan kondisi untuk mengaplikasikan visi dan misi Veda. Maka dari itu tradisi yang diwariskan oleh
para leluhur tidak harus kita terima jika memang tidak memiliki
nilai-nilai yang dharma.
Penelitian ini akan membahas tentang tradisi ngamuk. Sesuai
dengan pengkajian, Ngamuk merupakan
sebuah tradisi karena Ngamuk merupakan
suatu pola prilaku yang telah menjadi suatu budaya yang telah lama dikenal
sehingga menjadi adat istiadat dan kepercayaan yang secara turun temurun
dilaksanakan sebagai rangkaian hari raya Nyepi. Dalam melaksanakan tradisi Ngamuk masyarakat desa Padang Bulia khususnya
para pria yang ikut terlibat dalam tradisi Ngamuk
ini saling memukul (mepuput) menggunakan
daun kelapa kering (danyuh) yang
sudah dibakar. Bagi masyarakat desa Padang Bulia tradisi Ngamuk dapat mengusir Bhuta
Kala yang ada di desa Padang Bulia dan dapat menciptakan keharmonisan.
2.2.2 Hari raya Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari raya Nyepi sebenarnya
merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka,
yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi,
Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti
biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara
Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Nyepi Lontar Sunarigama
dalam (wiana 2006: 75) disebut sunya yang harus dicapai dengan Samadhi melalui tapa
dan yoga. Tapa artinya dengan kesadaran mengendalikan kenikmatan indria,
sehingga akan lebih mudah mewujudkan tujuan yoga yaitu heningnya
pikiran.pikiran yang hening akan dapat lebih kuat menjadi alatnya Bhudi Satwam
mengendalikan indria yang suka binal.
Pendit (2001: 45)
menjelaskan perayaan hari raya Nyepi bertujuan memperluas jaringan persaudaraan
hakiki antar manusia dengan jalan menumbuhkan kepribadian utuh dalam diri
manusia, solidaritas tulus antar sesama, rasa tanggung jawab tinggi kepada
masyarakat serta toleransi hangat kepada pihak lain. Nyepi atau sipeng dilakukan tepat pada tanggal
satu bulan satu tahun saka yang jatuh setelah tilem (bulan mati) sasih
kesanga, pada bulan maret tarikh masehi, dengan jalan amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati
lelunganan (tidak bepergian) dan amati
lelangunan (tidak bersuka-ria).
Hari
raya Nyepi, dalam pelaksanaanya memiliki rangkaian perayaan sebagai berikut.
(1) Upacara Melasti disebut juga Makiyis. Upacara ini bertujuan untuk
memohon kepada Ida sang hyang widhi Wasa dengan manifestasi-Nya sebagai
penguasa lautan untuk membersihkan Bhuana. Yang dalam hal ini Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi disebut sebagai Dewa Brahma dalam manefestasinya sebagai
penguasa lautan. Tugasnya sebagai pelebur segala kekotoran, sehingga laut
dianggap sebagai tempat yang baik untuk penyucian disi hal ini juga tersirat
dalam mantra penyucian kepada Buana (Alam)
yang menjelaskan “Om Nagendra krùra mùrtinam, Gajendra matsya
waktranam, Baruna dewa masariram, sarwa jagat suddhàtmakam” - Ya Tuhan, wujudMu sebagai raja para naga, raja gagah
yang bermoncong ikan, Engkau adalah Dewa Baruna yang maha suci, meresapi dunia
dengan kesucian jiwa, hamba memujaMu. pencuci jiwa
para mahluk dalam alam semesta, ya Hyang Baruna
hamba menyembahmu. (2) Tawur/Pecaruan, upacara ini dilakukan mulai dari
masing-masing rumah sampai tingkat propinsi dengan mengambil tempat
diperempatan atau di alun-alun. Upacara ini bertujuan untuk mengharmoniskan
kembali Bhuana Agung (alam semesta) beserta segala isinya. Upacara Pecaruan ini
biasanya diikuti dengan Pangerupukan pada sore harinya (sandhya kala). (3)
Brata Penyepian, Pada hari raya Nyepi umat Hindu melakukan Catur Brata
Penyepian yang bertujuan untuk menyepikan diri guna mendapatkan ketenangan
lahir batin (Sanjaya, 2010: 94).
Berdasarkan atas pengertian di atas, maka hari raya Nyepi
merupakan hari raya yang memiliki banyak rangkaian atau proses yang mana dalam
penelitian ini akan lebih menfokuskan pada tradisi ngamuk yang merupakan bagian dari proses proses tawur/pecaruan dalam perayaan hari raya Nyepi.
2.2.3
Nilai
Pengertian nilai dalam bahasa Inggris disebut value berarti harga,
penghargaan, atau tafsiran. Artinya, harga atau penghargaan yang melekat pada
sebuah objek. Objek yang dimaksud adalah berbentuk benda, barang, keadaan,
perbuatan, atau perilaku. Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkret.
Nilai hanya bisa dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan dengan
cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal yang bersifat batiniah.
Artadi (2011: 53) mejelaskan nilai adalah jawaban terhadap
kemanusiaan manusia dalam wilayah sosiologis tertinggi dari seluruh kegiatan
manusia, baik itu kegiatan yang berkaitan dengan kesehatah, teknologi, ekonomi,
hokum dan social lainnya, seni bahkan religi. Nilai yang ada dalam kebudayaan
adalah nilai yang relative, oleh karena nilai
adalah konsep alam rasa dan pikiran manusia untuk menjawab
kemanusiaannya dikataitkan dengan hal-hal yang ada diluar dirinya dapat atau
tidak member arti kepada hidupnya sehingga kehadirannya didalam eksistensi
menjadi terjawab. Artadi juga mengemukakan Nilai adalah dasar dari prilaku.
Artinya seseorang menjungjung tinggi nilai-nilai tertentu tampak nyata dalam
prilakunya. Nilai berubah, prilaku berubah dan moral pun berubah.
2.2.4 Pendidikan Agama Hindu
Suryabrata
(1982: 12)
pendidikan secara ethimologi, “pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogiek. Pais berarti anak
dan gogos berarti membimbing/tuntunan dan iek berarti ilmu. Dalam
bahasa inggris berasal dari kata education berasal dari bahasa Yunani educare
yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun dan
berkembang”. Pendidikan juga dijelaskan dari bahasa latin “educare” yang
berarti mengeluarkan suatu kemampuan, “e” adalah keluar dan ducare berarti
membimbing. Jadi educare adalah membimbing untuk mengeluarkan kemampuan
yang tersimpan dalam diri anak untuk tercapai kedewasaan.
Pengertian
pendidikan terus mengalami perkembangan. Hasbullah
(2006: 2) mengemukakan beberapa pendapat dari para ahli pendidikan mengenai
pengertian pendidikan tersebut diantaranya :
1) Pendidikan ialah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada
pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar lebih cakap
melaksanakan tugashi hidupnya sendiri.pengaruh itu datang atau diciptakan oleh
orang yang lebih dewasa (Lageveld).
2) Pendidikan
adalah pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan
emosional ke arah alam dan sesama manusia (John Dewey).
3) Pendidikan
adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada apa pada masa kanak-kanak, akan
tetapi kita memebutuhkannya pada waktu dewasa (J.J.Rousseau).
4) Ki
Hajar Dewantara dalam (Suryabrata,
1982:14) memberikan penjelasan tentang pendidikan itu adalah, daya upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan
jasmani anak-anak.
5) Menurut
Sanjaya (2010: 153)
Pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan peserta didik.
Interaksi yang diinginkan dalam pendidikan adalah interaksi yang bersifat
edukatif. Interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik, bermuatan
tujuan-tujuan yang bersifat membangun, membawa pada arah kemajuan, baik secara
moral, spiritual, dan intelektual. Harus ada landasan-landasan yang mulia untuk
dijadikan pedoman bagi pendidik agar pendidikan yang diberikan kepada anak
didik tidak menyimpang atau malah menjadikan suatu kemunduran kualitas hasil
dari sebuah pendidikan.
Definisi
mengenai Pendidikan Agama Hindu juga terdapat dalam kesatuan tafsir terhadap
aspek-aspek Agama
Hindu I-XV (2000: 23-24)
Bahwasanya Pendidikan Agama Hindu adalah suatu usaha pembinaan dan bimbingan
pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan prilaku seseorang (anak didik ataupun
masyarakat) menurut ajaran Agama Hindu yang dilaksanakan baik melalui jalur
sekolah maupun luar sekolah.
Berdasarkan
uraian tersebut dapat dinyatakan secara singkat bahwa Pendidikan Agama Hindu
adalah usaha untuk membentuk manusia seutuhnya dengan menanamkan ajaran-ajaran
agama Hindu agar mampu berfikir, berbuat ataupun berprilaku yang tidak
menyimpang dari ajaran-ajaran agama Hindu itu sendiri. Pengertian pendidikan agama Hindu di atas diharapkan dapat dipakai
sebagai pelita di dalam menerangi kegelapan umat Hindu di dalam mengarungi
kehidupannya, agar umat Hindu dapat mengetahui mana perbuatan yang baik dan
mana perbuatan yang buruk.
Pemahaman terhadap
konsep pendidikan agama Hindu akan mempermudah dalam penelitian ini. Kaitannya
dengan tradisi Ngamuk
yang ada di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada kabupaten
Buleleng. Yang menjadi kajian akan tampak kandungan nilai pendidikan agama Hindu
dalam tradisi Ngamuk.
2.3 Teori.
Landasan teori diperlukan untuk dapat
dijadikan bahan pijakan dalam usaha untuk mendapatkan jawaban yang diharapkan,
yaitu jawaban yang bersifat teoritis dan sistematis terhadap berbagai
permasalahan yang diajukan. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya sebuah
pemahaman terhadap landasan teori dalam penyusunan suatu karya ilmiah. Namun
teori-teori tersebut tidaklah selamanya dapat dipertahankan. Hal ini
dikarenakan adanya gejala-gejala baru sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan.
Teori dapat dijadikan landasan dalam
penelitian adalah tepat sebagai penganut dalam proses penyelesaian masalah.
Tujuan lain dari teori adalah untuk membantu menentukan metodologi yang
sekaligus memberikan interpretasi tentang keberhasilan penelitian yang
dilakukan. Teori yaitu hubungan antara dua variabel yang dapat diuji
kebenarannya. Suatu variabel merupakan suatu keterikatan dari benda-benda atau
orang-orang atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda-beda. Misal:
usia, jenis kelamin dan lain sebagainya (Soekanto, 1990: 30).
Teori tidak harus dipenuhi dengan batasan-batasan istilah, kecuali
memang diperlukan. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada
simpulan awal. Itulah sebabnya teori
harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan digunakan.
Signifikansi teori dengan permasalahan yang akan diteliti harus jelas. Jadi
teori justru berfungsi sebagai pelurus arah agar penelitian tidak begitu jauh
menyimpang (Endraswara, 2011: 2013). Adapun yang menjadi teori dalam penelitian
tradisi Ngamuk yang ada di desa
Padangbulia adalah sebagai berikut:
2.3.1 Teori simbol
Secara etimologi, pengertian simbol dan
simbolisasi bersifat dikotomi. Perspektif pertama, simbol dan simbolisasi
berkaitan dengan yang imanen, dalam arti yang disatukan adalah yang ada dalam
manusia saja. Simbol dan simbolisasi terbatas pada dimensi horizontal saja.
Perspektif kedua, beranggapan simbol merujuk kepada hal yang transenden (yang
mengatasi objektivitas) bahwa jika
berbicara tentang simbol dan simbolisasi senantiasa berhubungan dengan adanya
dialog manusia dengan yang lain. Dengan demikian, simbol tidak hanya berdimensi
horizontal-imanen, tetapi juga berdimensi vertikal-transenden (Triguna, 2001: 11-12).
Ketika
masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berbeda budaya,
maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol secara tidak langsung
dipergunakan dalam proses tersebut. Penggunaan simbol-simbol ini akan
menghasilkan makna-makna yang berbeda dari pelaku komunikasi, walau tak jarang
pemaknaan atas simbol akan menghasilkan arti yang sama, sesuai harapan pelaku
komunikasi tersebut.
Berkaitan
dengan simbol Kant dalam (Triguna, 2001: 15-16) juga menyebutkan bahwa simbul
adalah hasil oprasi daya penilaian yang terjadi dalam pengamatan
pengertian-pengertian akal murni. Semua
pengamatan, adalah tempat semua orang merekakan pengertian, atau skema, atau
symbol-simbol. Yang pertama mengandung penggambaran pengertian secara langsung,
sedangkan yang kedua menggambarkan pengertian tidak secara langsung.
Jadi teori simbul Kant yaitu simbul
adalah hasil oprasi daya penilaian yang terjadi dalam pengamatan
pengertian-pengertian akal murni. Semua
pengamatan, adalah tempat semua orang merekakan pengertian, atau skema, atau
symbol-simbol. Yang pertama mengandung penggambaran dan pengertian secara
langsung, sedangkan yang kedua mengandung
penggambaran dan pengertian tidak secara langsung sangat relevan untuk
membedah rumusan masalah pertama yaitu untuk menggambarkan bagaimana bentuk Tradisi Ngamuk
dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada
kabupaten Buleleng.
2.3.2 Teori Fungsional Struktural
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai
suatu perspektif yang “berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat
besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiolog Perancis, yaitu Emile
Dhurkheim. Masyarakat moderen dilihat oleh Dhurkheim sebagai keseluruhan
organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki
seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh
bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap
langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak terpenuhi maka akan
berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis”. Sebagai contoh dalam
masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian
ini akan mempengahuri bagian lain dari sistem itu dan akhirnya akan
mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat
menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan
perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem
dilihat sebagai suatu keadaan patalogis, yang pada akhirnya akan teratasi
dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para
fungsionalis kontenporer menyebutka keadaaan normal sebagai suatu sistem yang
seimbang, sedangkan keadaan patalogis adalah menunjukkan pada ketidakseimbangan
atau perubahan sosial.
Fungsionalisme Dhurkheim ini tetap bertahan dan
dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw
malinowski dan A.R. Radcliffe-brown. Brown dan malinowski dipengaruhi oleh
ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organismo hidup, dan
keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakekat, análisis fungsional
yang dibangun di atas model organis. Didalam batasannya tentang beberapa konsep
dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliffe-brown mengenai
fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi análisis fungsional struktural:
Fungsi dari
setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau
upacara penguburan, adalah adalah merupakan yang dimainkannya dalam kehidupan
sosial sebagai keseluruhan dan, karena itu, merupakan sumbangan yang diberikan
bagi pemeliharaan kelangsungan struktural. (Radcliffe-brown dalam Poloma, 2007:
25-26)
Penggunaan teori fungsional struktural yang
dikembangkan oleh Radcliffe-brown dalam penelitian tradisi Ngamuk yang ada di desa Padangbulia digunakan untuk membedah
rumusan masalah kedua yaitu untuk
mengetahui fungsi Tradisi Ngamuk
dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada
kabupaten Buleleng .
2.3.3 Teori Nilai
Nilai
atau value (bahasa inggris) atau valere ( bahasa Latin) berarti berguna, mampu
akan, berdaya, berlaku, dan kuat. Nilai adlah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai, dan dapat
menjadi objek kepentingan. Menurut pandangan relativisme: (a) nilai bersifat
relative karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan,
perasaa, selera, kecenderungan, dan sebagainya), baik secara sosial maupun
pribadi yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan; (b)
nilai berbeda dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya; (c) penilaian
seperti benar salah, baik-buruk, tepat-tidak tepat, tidak dapat diterapkan
padanya; (d) tidak ada dan tidak dapat ada nilai-nilai universal, mutlak, dan
objektif manapun yang dapat diterapkan pada semua orang pada segala waktu.
(Sjarkawi, 2006: 29)
Kontjaraningrat
dalam Swastika (2013: 33) menjabarkan nilai adalah ide-ide yang mengkonsepsikan
hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan. Konsepsi-konsepsi serupa itu
biasanya luas dan kabur. Justru karena kabur dan irasional biasanya berakar
dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Menurur Louis Kattsof dalam
bukunya Element of Phylosophy
menyimpulkan bahwa nilai mempunyai 4 macam arti antara lain: 1) bernilai
artinya berguna; 2) Merupakan nilai artinya baik dan benar atau indah; 3)
Mengandung nilai artinya merupakan objek atau keinginan atau sifat yang menimbulkan
sikap setuju; 4) Memberi nilai artinya memutuskan bahwa sesuatu itu diinginkan
atau merupakan nilai (Swastika, 2013: 33-34). Jadi sesuatu yang memiliki nilai
tidak hanya yang berwujud material atau benda saja, tetapi juga benda yang
tidak berwujud. Yang berwujud material penilaiannya lebih mudah dilakukan
dengan menggunakan alat ukur seperti: pengukuran berat (kg), panjang (km), dan
isi (m3), sedangkan nilai-nilai kerohanian tidak dapat diukur dengan alat-alat
tersebut di atas.
Nilai
kerohanian hanya dapat dinilai dengan menggunakan hati nurani yang ditimbulkan
oleh indra-indra, akal, perasaan dan
pikiran (keyakinan). Bagi manusia, nilai merupakan suatu alat untuk
memotivasi di segala bidang kehidupan. Hal ini dapat kita lihat pada kenyataan
manusia yang lain berbuat lain dari nilai-nilai manusia yang lain karena alasan
yang lain pula. Nilai-nilai ini termuat dalam Tri Kerangka Dasar ajaran Agama
Hindu yang mempunyai tiga dasar pokok yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
Tiga kerangka itu terdiri dari : (1) Tattwa (filsafat), merupakan ajaran abadi
dan merupakan inti masalah agama yang paling utama. (2) Susila, yang berkaitan
dengan dharma, didasari oleh inti pokok ajaran “tattwa”. Dan (3) Upacara
(ritual), merupakan bentuk yadnya dalam rangkaian panca yadnya karena manusia
lahir membawa hutang kelahiran.
Berdasarka pemaparan di atas maka teori nilai
ini relefan untuk membedah permasalahan ketiga
yaitu Nilai-nilai pendidikan agama Hindu
apa yang terkandung dalam tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari raya Nyepi
di desa Padang Bulia.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan pendekatan penelitian
Penelitian yang dilaksanakan ini bertujuan
untuk mengetahui bentuk Tradisi Ngamuk
dan mengetahui fungsi Tradisi Ngamuk
serta untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Tradisi Ngamuk yang terdapat di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada
kabupaten buleleng.
Berdasarkan
uaraian diatas, maka jenis penelitian yang dilaksanakan ini bisa dikatakan
tergolong kedalam penelitian kualitatif. Karena penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan pelaksanaan Tradisi Ngamuk
di desa Padang Bulia yang tergolong unik dengan mempergunakan pendekatan
fenomenologis.
3.2 Lokasi Penelitian
Penentua
lokasi penelitian sangat penting dalam sebuah penelitian agar tidak melebarnya
permasalahan yang dibahas. Pada umumnya pertimbangan penentuan lokasi adalah
untuk mengetahui keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya dan
tenaga (Moleong, 2004: 84). Dalam hal ini, penelitian Tradisi Ngamuk dilakukan di desa Padang Bulia kecamatan Sawan kabupaten Buleleng.
3.3 Subjek dan Objek Penelitian
3.3.2 Subjek Penelitian
Arikunto (2002:
107) menyatakan bahwa subjek adalah suatu hal yang menjadi sumber data. Sumber
data dapat berupa, person
(sumber data berupa orang), place
(sumber data berupa tempat) dan paper
(sumber data berupa huruf, angka, gambar dan simbol-simbol lainnya. Subjek
penelitian adalah setiap individu yang akan diselidiki atau yang akan diteliti.
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah Kelian Adat, Kepala Desa, Jero
Mangku dan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan Tradisi Ngamuk.
3.3.3 Objek Penelitian
Arikunto (2002: 96)
menyatakan bahwa objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik
perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian
adalah Tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan
Sukasada kabupaten Buleleng.
Pemilihan objek ini berdasarkan atas gejala yang telah terjadi sekian lama akan
tetapi segi nilai yang membuat masyarakat tetap mempertahankan tradisi Ngamuk sehingga menarik untuk dikaji.
3.4 Jenis Data Dan Sumber Data.
Data adalah bahan keterangan tentang suatu objek
penelitian. Definisi data sebenarnya memiliki kemiripan dengan definisi
informasi, hanya informasi lebih menonjolkan dari segi servis sedangkan data
lebih ditonjolkkan dari aspek materi (Bungin, 2001: 12). Sumber data merupakan
salah satu bagian yang paling vital dalam penelitian. Adapun data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder.
3.4.1 Data Primer
Iqibal, (2002: 167), data
penelitian dapat berupa data primer: merupakan data yang diperoleh atau
dikumpulkan dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau bersangkutan
yang memerlukannya. Data primer disebut juga data asli. Dalam penelitian
tradisi Ngamuk ini yang menjadi data
primer adalah hasil wawancara dari Kelian
Adat, Kepala Desa, Jero Mangku dan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan
Tradisi Ngamuk.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder didefinisikan merupakan
catatan tentang adanya suatu peristiwa atau catatan-catatan yang jaraknya telah
jauh dari sumber orisinal, misalnya keputusan rapat atau perkumpulan yang bukan
didasarkan dari keputusan rapat itu sendiri tetapi sumber dari surat kabar atau
bukan dari sang penyaksi kejadian tersebut secara langsung (Nazir, 1988: 58-59)
Data skunder adalah data yang diperoleh
atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang
telah ada yang biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari karya ilmiah
peneliti terdahulu. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder
diperoleh dari pustaka dan buku-buku yang relevan dengan penelitian tradisi Ngamuk
3.5 Teknik Penentuan Informan
Penelitian memerlukan suatu data yang diperoleh
dari berbagai jenis informasi dan fakta. Untuk mendapatkan suatu data maka
diperlukan informan terutama untuk mendapatkan data primer. Teknik penentuan
informan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Snowball Sampling.
Teknik snowball sampling adalah suatu teknik penentuan informan (sampel) yang
mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. (Sugiono, 2013: 125).
Teknik snowball sampling
diterapkan dengan cara penyusun akan menetapkan satu atau dua informan kunci dan melakukan
wawancara terhadap mereka secara bertahap, kemudian meminta arahan dan petunjuk
kepada mereka siapa sebaiknya yang akan dijadikan informan selanjutnya yang
dianggap memiliki pengetahuan, pengalaman dan informasi yang penyusun cari.
Selanjutnya penentuan informan berikutnya dilakukan dengan teknik yang sama,
yaitu meminta petunjuk dan arahan dari informan yang telah memberikan
informasi. Begitu seterusnya hingga penyusun mengalami titik jenuh untuk
mendapatkan data yang diinginkan karena data yang telah diperoleh dari informan
–informan hampir sama.
3.6 Teknik Pengumpulan
Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang
paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi estándar data yang ditetapkan (Sugiono,
2013: 308). Baik buruknya data yang diperoleh akan sangat tergantung pada
metode pengumpulan data yang digunakan. Dalam penelitian Tradisi Ngamuk
dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang Bulia kecamatan Sukasada
kabupaten Buleleng penyusun menggunakan tiga metode pengumpulan data yaitu metode
observasi, wawancara dan metode studi
dokumen.
3.6.1 Observasi
Nasution dalam Sugiono
(2013: 310) Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya
dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang
diperoleh melalui observasi. Ada berbagai macam jenis observasi, dalam
penelitian ini penyusun menggunakan observasi Non participant. Observasi non
participant adalah pengamatan tidak berperan aktif, artinya dalam pengamatan
penelitian tradisi Ngamuk peneliti
tidak ikut terlibat langsung dalam pelaksanaan tradisi Ngamuk.
3.6.2 Wawancara
Esterberg dalam Sugiono (2013: 317) wawancara adalah
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topic tertentu. Ada berbagai jenis wawancara
diantaranya adalah wawancara Terpimpin, wawancara tidak terpimpin dan wawancara
bebas terpimpin. Bebas terpimpin. Dalam Penelitian tradisi Ngamuk penyusun menggunakan wawancara bebas terpimpin, yang artinya
dalam melakukan wawancara penyusun tidak menggunakan panduan wawancara tetapi
menentukan informasi yang ingin didapatkan.
3.6.3 Studi
Dokumen
Sugiono (2013: 329) dokumen merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dalam penelitian tradisi Ngamuk penyusun menggunakan foto-foto kegiatan pelaksanaan tradisi Ngamuk , buku, serta hasil-hasil
penelitian terdahulu yang relevan sebagai sumber data.
3.7 Teknik Analisis Data
Sugiono (2013: 335), análisis data adalah
proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan dokumentas, dengan cara mengorganisasikan data
kedalam kategori, menjabarkan kedalam
unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. Adapun motode
análisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.7.1
Pengelompokan Data
Data yang diperoleh dalam
pelaksanaan pengumpulan data belum teratur karena di dapat dari berbagai
sumber. Misalnya data tentang proses pelaksanaan dan fungsi tradisi Ngamuk di
desa Padang Bulia kecamatan Sukasada kabupaten maka untuk memudahkan
menganalisis dan menarik simpulan, data itu dikelompokkan dalam satu kelompok.
3.7.2 Reduksi
Data
Kegiatan reduksi data
diarahkan pada proses pemilihan, pemusatan, klasifikasi, identifikasi, dan
penyederhanaan data. Dalam proses reduksi data akan dilakukan pengelompokan
data berdasarkan sifat atau karakteristik data tentang tradisi Ngamuk dalam rangkaian hari raya Nyepi di desa Padang
Bulia kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng. Data yang telah direduksi
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan. Ada beberapa
kegiatan yang dilakukan dalam mereduksi data antara lain: (1) Pembuangan data,
(2) Transformasi data.
3.7.2.1 Pembuangan Data
Pembuangan data adalah
membuang data-data yang tidak relevan dengan penelitian yang dilakukan terutama
data-data yang diperoleh dalam pengumpulan data yang tidak terkait dengan
tujuan penelitian. Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan tradisi Ngamuk yang ada di desa Padang Bulia
kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng, maka data yang akan dimanfaatkan hanyalah
data yang relevan dengan fokus penelitian.
3.7.2.2 Transformasi Data
Transformasi data adalah pengubahan bentuk
data menjadi bentuk lain agar efektif dan efisien tanpa mengubah atau
menghilangkan substansinya. Data yang ditransformasi dalam penelitian ini
adalah jawaban yang diberikan oleh
para informan atas pertanyaan yang diajukan pada saat wawancara.
3.7.3
Penyajian Data
Data
yang telah direduksi akan disusun dan ditata dalam satuan peristiwa dan satuan
makna yang meliputi: bagaimana bentuk, fungsi dan nilai yang terdapat dalam
tradisi Ngamuk yang ada di desa Padang
Bulia kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng.