PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika
Etika
berasal dari bahasa Yunani, dari kata “ethos” yang berarti karakter kesusilaan
atau adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu yang
berkenaan tentang tingkah laku baik dan buruk serta menyangkut hak dan
kewajiban moral. Sedangkan menurut pandangan Hindu, etika tidak hanya sekedar
ilmu. Etika dalam pandangan agama hindu mencakup hal yang lebih luas. Etika adalah
suatu tingkah laku secara sadar yang dilaksanakan oleh manusia, untuk
kebahagiaan serta keharmonisan hidup dan menyangkut tentang hak dan kewajiban moral (sradha),
antar sesama manusia, antara manusia dengan alam, bahkan antara manusia dengan
Tuhan.
Etika
dalam terminology Hindu disebut “susila” (bahasa Sansekerta) adalah perbuatan
(Karma) apa yang dianggap perbuatan baik (subha karma/daiwi sampad) dan
perbuatan tidak baik (asubha karma/asuri sampad). Etika sebagai bentuk
pengendalian diri dalam hidup bersama, di mana aturan – aturan untuk bertingkah
laku itu telah diatur dalam ajaran tata susila. Sehingga etika sangatlah
identik dengan tata susila. Dalam
Sarasamuscaya.162 ditegaskan bahwa “tingkah laku yang baik merupakan alat untuk
menjaga dharma, pikiran yang teguh dan bulat saja merupakan upaya untuk menjunjungnya,
ada pun keindahan paras adalah kebersihan pemeliharaannya. Mengenai kelahiran
mulia maka budhi pekerti susila yang menegakkannya”. Dari kutipan sloka di
atas, sangat jelas bahwa etika sangat penting untuk menegakkan dharma atau
kebajikan yang dilandasi oleh pikiran yang jernih dan teguh. Sedangkan penampilan
fisik manusia hanyalah semu, yang dapat dipelihara dengan menjaga kebersihan
duniawi. Dengan memiliki budi pekerti yang baik
maka manusia akan dipandang menjadi makluk yang mulia.
2.2 Pandangan kitab Upanisad mengenai etika
Hindu
adalah agama yang mulia, yang bersumber dari kebenaran Veda. Ada banyak ajaran
dalam weda yang sarat akan etika, namun dalam makalah ini etika akan dikupas
dalam sudut pandang Upanishad. Di dalam beretika khususnya umat Hindu ada
beberapa faktor yang perlu diperhatikan misalnya ; Pengendalian diri, Saling
menghormati (Tat Twam Asi) dan Satya (Kebenaran)
A. Pengendalian
diri
Point yang sangat diperhatikan dalam
pengendalian diri adalah penguasaan terhadap pikiran, dalam ajaran agama Hindu
pikiran adalah raja dari indriya (rajendriya). Oleh karena itu pengendalian
pikiran itu sangatlah penting dalam beretika. Dalam Katha Upanishad, kita
dapatkan suatu analogy antara kereta dan kuda sebagai badan dan indriya serta
pengendaliannya.
Atmanam
rathinem viddhi,
Sariram
rathamtu,
Buddhim
tu saradem viddhi,
manah pragraham eva ca
(Katha Upanishad
1.3)
Terjemahannya
:
Ketahuilah bahwa sang pribadi adalah tuannya kereta, badan adalah
kereta. Ketahuilah bahwa kebijaksanaan adalah kusir dan pikiran adalah tali
kekangnya
Indriyani haya athur visayams
Tesu gocaran, atmanendrrya
Mano yuktam, bhoktety athur
mamisinah.
(Katha
Upanishad 1.4)
Terjemahannya
:
Indriya, mereka menyebutnya kuda. Sasaran indriya dalah jalan, sang
pribadi dihubungkan dengan badan. Indriya dan badan itulah yang menikmati.
Demikian orang pandai menerangkannya.
Yas to avijnanamvan bhavaty
Ayuk tena manasa sada
Tusyendriyany avasyany
Dustasva iva saratheh.
(Katha
Upanishad 1.5)
Terjemahannya
:
Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang pikirannya tidak terkendali ,
yang indriyanya tidak dapat diawasi, semua itu adalah laksana kuda-kuda binal
bagi sang kusir.
Yas tu vijnanavan bhavati
Yuktena manasa sada
Tusyendriyani vasyani
Sadasva iva saratheh.
(Katha
Upanishad 1.6)
Terjemahannya
:
Dia yang memiliki kesadaran, yang pikirannya selalu terkendali, yang
indriyanya selalu dikuasainya. Semuanya laksana kuda-kuda bagus bagi sang
kusir.
Yas tu avijnanavan bhavaty
Amanskas sada sucih
Na sa tat padam apnoti
Samsaram candhigacchati
(Katha
Upanishad 1.7)
Terjemahannya
:
Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang tidak kuasa atas pikirannya
yang tidak suci, ia tidak akan sampai pada tujuan hidupnya bahkan akan kembali
lagi pada kesengsaraan.
Yas tu vijnanavan bhavati
Samanaskas sada sucih
Sa tu tat padam apnoti
Yasmat bhuyo na jayate.
(Katha Upanishad 1.8)
Terjemahannya
:
Dia yang memiliki kesadaran, yang kuasa atas pikirannya yang senantiasa
suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya dan karena itu ia tidak akan di
lahirkan kembali di dunia ini.
Vijnana sarathir yastu manah
Pragravan na rah
Sodhvanah param apnoti
Tad visnoh paramam padan
(Katha
Upanishad 1.9)
Terjemahannya
:
Ia yang memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan mengendalikan tali
kekang pikiran, ia akan mencapai akhir dari perjalanan itu yaitu alam
tertinggi, alamnya ia yang meresapi segala.
Kutipan-kutipan tadi menekankan
pengendalian indriya itu yang diumpamakan sebagai kuda. Bila indrya itu dapat
dikendalikan, maka ia dapat menjadi kuda – kuda yang bagus yang mengantar
penunggangnya sampai ke tempat tujuan. Namun jika sebaliknya, maka indrya itu
diibaratkan kuda – kuda binal yang mengantar penunggangnya jatuh pada
kesengsaraan. Dengan demikin jelaslah bahwa pengendalian terhadap indrya itu
serta menguasai atas geraknya pikiran akan membawa manusia pada keselamatan di
dunia dan akhirat kelak.
Dengan mengendalikan indrya, maka
keinginan yang muncul darinya dapat diarahkan pada hal – hal yang bermanfaat
guna tercapainya kebahagiaan lahir batin. Indrya itu sendiri adalah jalan
menuju sorga dan sekaligus jalan menuju neraka. Karena itu indrya merupakan sumber
kebahagiaan dan sumber derita. Bila indrya itu dapat dikendalikan, maka kita
akan memperoleh kebahagiaan dan surga pahalanya, tetapi apabila sebaliknya bila
indrya itu tidak dapat dikendalikan dan
membabi buta maka seseorang akan terseret ke lembah derita dan nerakalah
pahalanya. Hal ini ditegaskan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 71, sebagai
berikut :
Indriyanyeva
tat sarvam
Yat
svarga narakavu
Nigrhitanissrstani
svar gaya narakaya ca
Terjemahan
:
Yang
diajarkan lagi, sesungguhnya (panca) indrya itu dianggap surga (dan) neraka,
hakikatnya kalau dapat mengendalikan, itulah yang disebut laksana surga,
apabila tidak sanggup mengendalikannya itulah laksana neraka.
Manah
(pikiran) sebagai rajanya indrya mempengaruhi Panca Buddhindriya (mata,
telinga, hidung, lidah dan kulit) dan Panca Karmendrya (tangan, kaki, perut,
kemaluan, dubur). Misalnya mata memandang sesuatu yang menggiurkan nafsu, maka
melalui caksu indrya mempengaruhi alam pikiran, dan dari pikiran ini
dipertimbangkan, apakah yang dilihat tadi ada hasrat (keinginan) untuk
memilikinya. Jika pertimbangan alam pikiran kabut, maka akan timbul usaha –
usaha tercela untuk mendapatkannya. Namun bila alam pikiran itu sehat, maka
usaha – usaha untuk mendapatkannya ditempuh dengan cara yang halal. Dengan demikian
semua tuntunan indrya haruslah disaring terlebih dahulu melalui manah dan
hasilnya lalu dipertimbangkan baik – baik. Ia harus dikendalikan agar dapat
membawa manfaat dalam hidup ini dan sekaligus dapat terhindar dari berbagai
macam mala petaka.
Jadi
semua manusia di alam hidupnya harus dapat mengendalikan seluruh indrya itu
yang senantiasa tidak henti hentinya meminta untuk dipenuhi tuntutannya. Dari
sebelas indrya yang ada (ekadasa indrya) dalam gerak langkahnya sehari
tercermin dalam tiga gerak perilaku manusia yang dikenal dengan Tri Prana,
yaitu Idep (gerak pikiran), Sabda (gerak perkataan) dan Bayu (gerak perilaku).
Ketiga prana inilah yang harus dikendalikan agar dapat terhindar dari segala
perilaku yang negatif yang membawa kepada kesusahan hidup.
Di
dalam kitab Sarasamuscaya dijumpai adanya sepuluh macam pengendalian diri
terhadap gerak pikiran, perkataan, dan perbuatan. Adapun sepuluh macam
pengendalian diri tersebut adalah tiga macam pengendalian pikiran, empat macam
pengendalian perkataan dan tiga macam lagi adalah pengendalian perbuatan.
Rincian
pengendalian terhadan pikiran :
a.
Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal
b.
Tidak berpikir buruk (marah) terhadap
orang lain
c.
Tidak ingkar terhadap kebenaran karma phala
Pengendalian
diri terhadap perkataan :
a.
Tidak berkata mencaci maki
b.
Tidak berkata kasar
c.
Tidak memfitnah
d.
Tidak berkata bohong atau ingkar janji
Pengendalian
diri terhadap perbuatan :
a.
Tidak melakukan perbuatan menyiksa atau membunuh
b.
Tidak melakukan perbuatan mencuri atau curang
c.
Tidak melakukan perbuatan perzinahan
Oleh karena nafsu atau keinginan itu
muncul dari indriya, maka indriya tersebut patut dikendalikan agar mengantarkan
manusia pada kebahagiaan dan bebas dari segala kesengsaraan. Mengendalikan
indriya bukan berarti membunuh indriya itu sendiri, tetapi kita jangan sampai
diperbudak olehnya, melainkan harus sebaliknya manusialah yang harus dapat
menguasai indriya itu. Tanpa nafsu atau keinginan atau juga tanpa indriya,
manusia tidak dapat hidup. Sang Hyang Widhi telah menganugrahkan nafsu atau
keinginan dan juga indriya adalah justru untuk kesempurnaan manusia itu
sendiri. Dengan demikian di dalam hidupnya manusia harus selalu mengendalikan
diri dengan selalu mengarahkan nafsu keinginannya atau indriya – indriya kepada
hal – hal yang baik dan bermanfaat agar senantiasa memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan hidup sebagai manusia sebagaiman yang kita kehendaki bersama.
B. Tat Twam Asi
Kata “Tat Twam Asi” ada disebutkan
dalam kitab Candogya Upanisad yang berarti : Dikaulah itu; Dikaulah semua itu;
Semua makhluk adalah Engkau. Engkau awal mula jiwatman (roh) dann zat (prakrti)
semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu
jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatman semua makhluk, dan Dikau
sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah
Engkau,;aku adalah Brahma.”Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10).
Di dalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan
yang tanpa batas, yang identik dengan “perikemanusiaan” dalam pancasila.
Konsepsi sila perikemanusiaan dalam pancasila, apabila kita cermati sungguh –
sungguh adalah merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam
kitab suci Weda.
Kalimat Tat Twam Asi mengandung
makna bahwa kita wajib dan harus mengasihi orang lain sebagaimana kita
menyayangi diri kita sendiri. Inilah dasar utama untuk mewujudkan masyarakat
yang Santhi (damai) dan Kertha (makmur). Tat Twam Asi selalu mengamalkan cinta
kasih, bakthi, dan rela beryadnya (berkorban).
Dalam kitab suci dikatakan demikian
:
“Hyang amati – mati wang tan padosa,
haywa anglarani sarwa prani, haywa kita tan masih ring wang nista”
Artinya :
Janganlah menyakiti makhluk hidup,
janganlah tidak menaruh belas kasihan terhadap orang miskin atau orang yang ditimpa kemalangan.
Cinta kasih sejati ditandai dengan
cinta kepada kebenaran dan kebaikan, maka menjadi kewaijban setiap orang untuk
berbuat baik dan benar. Bhakti adalah perwujudan hati nurani yang ditunjukkan kepada
orang tua, guru, bangsa, dan negara serta Hyang Widhi.
a.
Bhakti kepada Hyang Widhi
Merupakan perbuatan harus, brahman atman
aikyam, demikian dikatakan dalam kitab suci yang berarti atman dan brahman itu
sesungguhnya tunggal. Hyang Widhi memancarkan sinarnya kepada semua makhluk
yang menyebabkan adanya hidup dan kehidupan di dunia ini. Hyang Widhi
menciptakan alam semesta ini dengan meyadnyakan diriNya. Oleh karena itulah
kita harus berbakthi kepada Nya.
b.
Bhakti kepada orang tua
Orang
tua melahirkan (ibu), mendidik dan membesarkan anak – anknya, sehingga menjadi
dewasa dan mampu berdiri sendiri serta sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebab itu setiap anak wajib dan harus
berbakti kepada orang tua dengan selalu memenuhi permintaannya, menjalankan
perintahnya dan menyenangkan hatinya.
c.
Bhakti kepada Guru
Guru
mempunyai tugas yang mulia sebab peningkatan kemajuan masyarakat itu sangat
tergantung kepada guru. Oleh karena itu setiap orang siswa wajib bhakti/hormat
kepada gurunya dengan senantiasa menuruti nasehatnya dan berbuat baik kepadanya
(Guru Susruca)
d.
Bhakti kepada bangsa dan negara
Selalu
siap dan sedia mengorbankan jiwa raga untuk memperjuangkan dan menegakkan
kemerdekaan bangsa terkandung pengertian bahwa setiap orang harus mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan perorangan atau golongan. Dalam usaha
untuk memerdekaan diri dari belenggu awidya dan melepaskan diri reinkarnasi
(punarbawa) orang harus dapat mengalahkan musuh yang ada pada diri sendiri.
Bentuk –Bentuk
Ajaran Tat Twam Asi
Wujud
nyata dari ajaran Tat Twam Asi ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan
perilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya
memiliki berbagai macam kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan (kama) manusia
yang bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis,
sifat, dan ragamnya seperti: manusia sebagai makhluk individu, sosial,
religius, ekonomis, budaya dan lain – lainnya. Apabila semua itu harus dapat
dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan
situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimiliknya, betapa susah dan
payah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu
mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah
yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami serta mengamalkan ajaran
Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan dalam hidup dan
kehidupan ini. Semua diantara kita tahu bahwa berat dan ringan “Rwabhineda”itu
selalu ada dan berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaannnya.
Demikian adanya dalam hidup ini kita hendaknya selalu saling tolong – menolong,
merasa senasib dan sepenanggungan. Samalah hendaknya pikiran, hati, dan tujuan
manusia, dengan demikian semua hidup
bahagia secara bersama – sama.
Hidup
dan kehidupan ini sesungguhnya saling ketergantungan satu sama lainnnya.
Manusia tidak akan dapat hidup dengan sendirinya, dia hendaknya selalu berusaha
menyamakan pandangannya dalam hidup dan kehidupan ini. Manusia hendaknya selalu
merasakan dan berperilaku dalam hidup dan kehidupan ini seperjuangan dan
senasib. Dengan demikian hidup ini akan menjadi harmonis, indah dan damai.
Misalkan apabila suatu daerah mengalami bencana, maka bencana yang terjadi itu
bukan saja dianggap sebagai bencana bagi daerah tersebut saja, melainkan
bencana kita semua.
Jiwa
sosial itu seharusnya diresapi dengan sinar – sinar kesusilaan tuntunan Tuhan
dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata. Ajaran Tat Twam Asi selain
merupakan filsafat sosial, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam
usaha untuk mencapai/mewujudkan perbaikan moral. Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina
hubungan yang selaras dan rukun diantara sesama makhluk hidup yang lainnya yang
diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman guna membina hubungan yang
selaras, maka kita patut mengenal, mengindahkan dan mengamalkan ajaran
moralitas itu dengan sungguh – sungguh, sebagai berikut :
1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran – ukuran / norma –
norma masyarakat yang timbul dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar).
2.
Rasa tanggung jawab atas tindakannya itu.
3.
Lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Sastra-sastra
agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat kokoh dan
kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang bersangkutan
harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka bangunan itu akan
mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya dengan tata susila bila
tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang kokoh dan kuat, maka
tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati sanubari kita. Ajaran agama
yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri
Kaya Parisuhda. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang
penting sebagai bagian dari ajaran Dharma. Dengan demikian barang siapa yang
dengan kesungguhan hati mengamalkan ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu
dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan mendapat perlindungan
dari perbuatanya yang baik itu.
Tata
susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat
diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yaitu
kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk , yang
benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan
wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaannya dalam hidup dan kehidupan ini.
namun dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak
sekali tanda-tanda kemerosotan moral yang terjadi di lingkungan masyarakat,
terutama dikalangan anak-anak ( para remaja) kita. Hal itu disebabkan karena:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu
yang ada dalam masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam
bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan.
3. Pendidikan moral yang belum terlaksana sebagaimana
mestinya baik dilingkungan sekolah, masyarakat, maupun ditingkat rumah tangga.
4. Situasi dan kondisi rumah tangga yang kurang
stabil/baik
5. Diperkenalkan secara populer obat – obatan dan
sarana anti hamil.
6. Banyaknya tulisan – tulisan, gambar-gambar,
siaran-siaran, kesenian-kesenian yang kurang mengindahkan dasar-dasar,
norma-norma/aturan-aturan tentang tuntunan moral.
7. Kurang
adanya individu/organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat bimbingan
dan penyuluhan moral bagi anak-anak remaja yang menganggur.
Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
oleh masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh, dalam sifat dan prilaku
kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya
diantara kita dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah
ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomani, cermati dan amalkan kehidupan
sehari-hari ini.
C. Satya
(Kebenaran)
Kesetiaan dalam Hindu merupakan
sebuah ajaran agama yang wajib kita amalkan. Kesetiaan di kelompokkan menjadi
lima jenis yang lebih sering di sebut dengan Panca Satya. Kesetiaan dalam hidup
merupakan hal yang sangat penting karena dengan kesetiaan kita bisa
memperoleh sebuah kepercayaan yang mungkin tidak semua orang memilikinya.
Kesetiaan itu muncul bukan dari orang lain timbul dari diri kita sendiri jadi bagaimana cara
kita untuk memupuk kesetian itu.
Dalam Hindu kesetian di bagi menjadi lima bagian yaitu
:
- Satya Semaya
- Satya Herdaya
- Satya Mitra
- Satya Wacana
1. Satya Semaya
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan satya
semaya adalah kesetian kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME).
Dimana kita diwajibkan untuk setia akan Beliau karena atas Beliau kita ada.
Jadi dengan kesetian kita kepada-Nya merupakan sebuah penghormatan atau
penghargaan atas apa yang telah Beliau anugrahkan pada kita dalam hidup dan
kehidupan kita.
2. Satya Herdaya
Satya hrdaya adalah kesetiaan pada
diri sendiri pada kata hati. Terkadang manusia sering lupa apa yang ada dalam
kata hati dan mengabaikan bisikan hati yang paling dalam. Ingatlah kata hati
adalah penuntun, jadi mulailah setia pada kata hati diri sendiri. Niscaya penyesalan
akan berkurang jika setiap orang telah berjalan sesuai dengan kata hati.
3. Satya Mitra
Mitra adalah teman, mereka adalah bagian penting dalam hidup .
Dengan adanya teman, manusia bisa sedikit berbagi segala suka duka, kelu kesah.
Teman sejati akan selalu ada dalam segala suasana hati. Jadi setiap orang perlu
setia pada temannya karena manusia tak bisa hidup sendiri di dunia ini(sebagai
mahkluk sosial) dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, terutama seorang
teman.
4. Satya Wacana
Sering terdengar kata wacana, banyak sekali yang terlihat dalam
kenyataan orang lupa akan apa yang telah ia ucapkan. Dalam sebuah pemerintahan
banyak cerminan orang yang hanya bicara dan tidak setia pada apa yang telah ia
ucapkan, dan banyak contoh-contoh lain yang bisa dijadikan cermin bahwa kesetian dalam
perkataan masih sangat kurang. Jadi mulai sekarang belajarlah untuk setia pada
perkataan dan jangan hanya berjanji.
5. Satya Laksana
Satya laksana atau setia terhadap perbuatan. Sebagai manusia harus
setia pada apa yang telah dilakukan atau
diperbuat. Adapun perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan haruslah berani
untuk mempertanggungjawabkan akibat yang akan ditimbulkan. Ingat ada sebab ada
akibat, jadi mulailah setia.
Kesetian sangatlah berarti dalam kehidupan karena kesetiaan merupakan modal paling sulit
untuk di dapat. Dengan adanya rasa kesetiaan akan mampu mewujudkan kehidupan
sosial kemasyarakatan yang mantap, sehingga pembinaan individu sangat mutlak
diperlukan. Untuk itu perlu ditananmkan kesadaran untuk melaksanakan ajaran
satya dengan sebaik – baiknya, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Upanisad
berikut :
Satyam vada, dharmam cara
Svadhyayam ma pramadah
(Taittiriya Upanisad I.11.1)
Terjemahan
:
(Berbicaralah selalu benar/tepat
janji, berbuatlah kebajikan (dharma) tekunlah belajar) Svadhyaya dan memuja-Nya
dan jangan lalai.
2.3 Relevansi
etika dalam masyarakat Hindu di Bali Zaman Modern
Bali adalah sebuah nama yang merepresentasikan
keunikan dan keindahan. Dikatakan unik karena budayanya yang lain dari pada
yang lain, disebut indah karena panorama alamnya yang begitu menawan. Ajaran agama Hindu yang dibungkus dengan indah antara adat dan budaya
menjadi suatu konsep yang dipengang teguh oleh masyarakat Bali dan diwariskan
secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya serta menjadi suatu ciri khas
tersendiri bagi provinsi yang dijuluki Pulau Seribu Pura ini. Keunikan Pulau
Bali ini menjadi magnet penggerak menggeliatnya sektor pariwisata di Bali. Salah satu faktor pendukung berjalan lancarnya roda pariwisata Bali
adalah keramah-tamahan masyarakat bali yang merupakan pengimplementasiaan dari
ajaran tata susila (etika).
Sampai saat ini dalam masyarakat Bali
masih sangatlah kental penggunaan tata bahasa yang berstruktur yang merupakan cerminan dari etika berbahasa,
sebagai contoh masih adanya penggunaan sor
singgih basa dalam berkomunikasi kepada orang yang dihormati ataupun orang
yang baru dikenal. Misalnya ketika kita ingin berkomunikasi kepada wangsa Brahmana
kita semestinya mengunakan bahasa yang lebih sopan dan halus. Kepada orang yang
wangsanya sepadan pun orang Bali sangat menjunjung etika berbahasa ini,
contohnya penggunaan kata sandang “Bli” adalah kata sandang penghalusan kepada
seorang laki-laki dan kata “Mbok” kepada seorang perempuan. Belakangan ini
pembudayaan panganjali umat “Om Swastyastu” sudah mulai digeliatkan oleh para
tokoh dan intelektual Hindu. Begitu pula
penggunaan kata matur suksma yang dimana kata itu bermakna mempersembahkan jiwa
demi kedamaian bersama sering digunakan dalam mengakhiri sebuah acara.
Etika
berpenampilan merupakan suatu yang sangat penting bagi setiap orang. Terkadang
banyak orang berasumsi, pribadi seseorang dapat dilihat dari etika
penampilannya Busana yang rapi, tidak mencolok, akan lebih senang dilihat dari
pada busana yang kurang sopan.
Ajaran
tata susila (etika) yang diturunkan oleh nenek moyang khususnya dalam
berprilaku juga masih diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali. Hal ini dapat
terlihat dari penggunaan kata “Om Swastyastu” di saat bertemu dengan sesama
umat, prinsip hidup “sagilik saguluk, salunglung sabyantaka” masih jelas
melekat dalam darah masyarakat Hindu Bali. Ada juga konsep menyama braya yang merupakan ajaran etika kekeluargaan, dalam
artian menganggap orang lain adalah sama seperti bagian keluarga sendiri. Merasa
bahwa dalam hidup, sesama manusia adalah sama, konsep tat twam asi pun sangat
jelas ada di sini. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong dalam melaksanakan
suatu kegiatan.
3.1 Simpulan
Etika sebagai bentuk pengendalian
diri dalam pergaulan hidup bersama, di mana aturan-aturan dalam bertingkah laku
yang baik telah dimuat dalam ajaran tata susila sehingga etika erat kaitannya
dengan tata susila. Pada hakekatnya etika merupakan ajaran agar manusia berbuat
sesuai dengan prinsip Sattwam (kebajikan), Siwam (kesucian) dan sundharam
(keindahan). Lebih lanjut, dalam agama Hindu ajaran etika atau tata susila
merupakan salah satu bagian dari ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Menilik
dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, berarti etika merupakan bagian
penting dalam dari kehidupan manusia khususnya umat Hindu. Ajaran etika
merupakan warisan yang adiluhung dari nenek moyang masyarakat Hindu yang sampai
saat ini masih dipegang teguh oleh pewarisnya. Ada berbagai tafsiran mengenai
etika yang dijawantahkan ke dalam kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam
bertingkah laku, seperti tata krama, tata sopan santun, peraturan sopan santun,
norma sopan santun, tata cara bertingkah laku yang baik dan menyenangkan dan
lain sebagainya, yang menuntun manusia untuk menjadi manusia yang
berkepribadina mulia, berbudi pekerti luhur bahkan menuntun ke arah tercapainya
kebahagiaan lahir dan batin. Ini sesuai dengan adagium Hindu “ Moksartham
jagadhita ya ca iti dharmah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar