Halaman

Selasa, 10 Desember 2013

ETIKA DALAM UPANISAD

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani, dari kata “ethos” yang berarti karakter kesusilaan atau adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu yang berkenaan tentang tingkah laku baik dan buruk serta menyangkut hak dan kewajiban moral. Sedangkan menurut pandangan Hindu, etika tidak hanya sekedar ilmu. Etika dalam pandangan agama hindu mencakup hal yang lebih luas. Etika adalah suatu tingkah laku secara sadar yang dilaksanakan oleh manusia, untuk kebahagiaan serta keharmonisan hidup dan menyangkut  tentang hak dan kewajiban moral (sradha), antar sesama manusia, antara manusia dengan alam, bahkan antara manusia dengan Tuhan.
Etika dalam terminology Hindu disebut “susila” (bahasa Sansekerta) adalah perbuatan (Karma) apa yang dianggap perbuatan baik (subha karma/daiwi sampad) dan perbuatan tidak baik (asubha karma/asuri sampad). Etika sebagai bentuk pengendalian diri dalam hidup bersama, di mana aturan – aturan untuk bertingkah laku itu telah diatur dalam ajaran tata susila. Sehingga etika sangatlah identik dengan tata susila.  Dalam Sarasamuscaya.162 ditegaskan bahwa “tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma, pikiran yang teguh dan bulat saja merupakan upaya untuk menjunjungnya, ada pun keindahan paras adalah kebersihan pemeliharaannya. Mengenai kelahiran mulia maka budhi pekerti susila yang menegakkannya”. Dari kutipan sloka di atas, sangat jelas bahwa etika sangat penting untuk menegakkan dharma atau kebajikan yang dilandasi oleh pikiran yang jernih dan teguh. Sedangkan penampilan fisik manusia hanyalah semu, yang dapat dipelihara dengan menjaga kebersihan duniawi. Dengan memiliki budi pekerti yang baik  maka manusia akan dipandang menjadi makluk yang mulia.
2.2 Pandangan kitab Upanisad mengenai etika
Hindu adalah agama yang mulia, yang bersumber dari kebenaran Veda. Ada banyak ajaran dalam weda yang sarat akan etika, namun dalam makalah ini etika akan dikupas dalam sudut pandang Upanishad. Di dalam beretika khususnya umat Hindu ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan misalnya ; Pengendalian diri, Saling menghormati (Tat Twam Asi) dan Satya (Kebenaran)
A. Pengendalian diri
            Point yang sangat diperhatikan dalam pengendalian diri adalah penguasaan terhadap pikiran, dalam ajaran agama Hindu pikiran adalah raja dari indriya (rajendriya). Oleh karena itu pengendalian pikiran itu sangatlah penting dalam beretika. Dalam Katha Upanishad, kita dapatkan suatu analogy antara kereta dan kuda sebagai badan dan indriya serta pengendaliannya.
            Atmanam rathinem viddhi,
            Sariram rathamtu,
            Buddhim tu saradem viddhi,
manah pragraham eva ca  
                                    (Katha Upanishad 1.3)
Terjemahannya :
Ketahuilah bahwa sang pribadi adalah tuannya kereta, badan adalah kereta. Ketahuilah bahwa kebijaksanaan adalah kusir dan pikiran adalah tali kekangnya



Indriyani haya athur visayams
Tesu gocaran, atmanendrrya
Mano yuktam, bhoktety athur mamisinah.
                                    (Katha Upanishad 1.4)
Terjemahannya :
Indriya, mereka menyebutnya kuda. Sasaran indriya dalah jalan, sang pribadi dihubungkan dengan badan. Indriya dan badan itulah yang menikmati. Demikian orang pandai menerangkannya.
Yas to avijnanamvan bhavaty
Ayuk tena manasa sada
Tusyendriyany avasyany
Dustasva iva saratheh.
                                                (Katha Upanishad 1.5)
Terjemahannya :
Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang pikirannya tidak terkendali , yang indriyanya tidak dapat diawasi, semua itu adalah laksana kuda-kuda binal bagi sang kusir.
Yas tu vijnanavan bhavati
Yuktena manasa sada
Tusyendriyani vasyani
Sadasva iva saratheh.
                                                (Katha Upanishad 1.6)
Terjemahannya :
Dia yang memiliki kesadaran, yang pikirannya selalu terkendali, yang indriyanya selalu dikuasainya. Semuanya laksana kuda-kuda bagus bagi sang kusir.
Yas tu avijnanavan bhavaty
Amanskas sada sucih
Na sa tat padam apnoti
Samsaram candhigacchati
                                                (Katha Upanishad 1.7)
Terjemahannya :
Dia yang tidak memiliki kesadaran, yang tidak kuasa atas pikirannya yang tidak suci, ia tidak akan sampai pada tujuan hidupnya bahkan akan kembali lagi pada kesengsaraan.
Yas tu vijnanavan bhavati
Samanaskas sada sucih
Sa tu tat padam apnoti
Yasmat bhuyo na jayate.
                                                (Katha Upanishad 1.8)
Terjemahannya :
Dia yang memiliki kesadaran, yang kuasa atas pikirannya yang senantiasa suci bersih, akan mencapai tujuan hidupnya dan karena itu ia tidak akan di lahirkan kembali di dunia ini.

Vijnana sarathir yastu manah
Pragravan na rah
Sodhvanah param apnoti
Tad visnoh paramam padan
                                                (Katha Upanishad 1.9)
Terjemahannya :
Ia yang memiliki kesadaran akan kusir kereta itu dan mengendalikan tali kekang pikiran, ia akan mencapai akhir dari perjalanan itu yaitu alam tertinggi, alamnya ia yang meresapi segala.
            Kutipan-kutipan tadi menekankan pengendalian indriya itu yang diumpamakan sebagai kuda. Bila indrya itu dapat dikendalikan, maka ia dapat menjadi kuda – kuda yang bagus yang mengantar penunggangnya sampai ke tempat tujuan. Namun jika sebaliknya, maka indrya itu diibaratkan kuda – kuda binal yang mengantar penunggangnya jatuh pada kesengsaraan. Dengan demikin jelaslah bahwa pengendalian terhadap indrya itu serta menguasai atas geraknya pikiran akan membawa manusia pada keselamatan di dunia dan akhirat kelak.
            Dengan mengendalikan indrya, maka keinginan yang muncul darinya dapat diarahkan pada hal – hal yang bermanfaat guna tercapainya kebahagiaan lahir batin. Indrya itu sendiri adalah jalan menuju sorga dan sekaligus jalan menuju neraka. Karena itu indrya merupakan sumber kebahagiaan dan sumber derita. Bila indrya itu dapat dikendalikan, maka kita akan memperoleh kebahagiaan dan surga pahalanya, tetapi apabila sebaliknya bila indrya itu tidak dapat dikendalikan  dan membabi buta maka seseorang akan terseret ke lembah derita dan nerakalah pahalanya. Hal ini ditegaskan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 71, sebagai berikut :


            Indriyanyeva tat sarvam
            Yat svarga narakavu
            Nigrhitanissrstani svar gaya narakaya ca
Terjemahan :
Yang diajarkan lagi, sesungguhnya (panca) indrya itu dianggap surga (dan) neraka, hakikatnya kalau dapat mengendalikan, itulah yang disebut laksana surga, apabila tidak sanggup mengendalikannya itulah laksana neraka.
Manah (pikiran) sebagai rajanya indrya mempengaruhi Panca Buddhindriya (mata, telinga, hidung, lidah dan kulit) dan Panca Karmendrya (tangan, kaki, perut, kemaluan, dubur). Misalnya mata memandang sesuatu yang menggiurkan nafsu, maka melalui caksu indrya mempengaruhi alam pikiran, dan dari pikiran ini dipertimbangkan, apakah yang dilihat tadi ada hasrat (keinginan) untuk memilikinya. Jika pertimbangan alam pikiran kabut, maka akan timbul usaha – usaha tercela untuk mendapatkannya. Namun bila alam pikiran itu sehat, maka usaha – usaha untuk mendapatkannya ditempuh dengan cara yang halal. Dengan demikian semua tuntunan indrya haruslah disaring terlebih dahulu melalui manah dan hasilnya lalu dipertimbangkan baik – baik. Ia harus dikendalikan agar dapat membawa manfaat dalam hidup ini dan sekaligus dapat terhindar dari berbagai macam mala petaka.
Jadi semua manusia di alam hidupnya harus dapat mengendalikan seluruh indrya itu yang senantiasa tidak henti hentinya meminta untuk dipenuhi tuntutannya. Dari sebelas indrya yang ada (ekadasa indrya) dalam gerak langkahnya sehari tercermin dalam tiga gerak perilaku manusia yang dikenal dengan Tri Prana, yaitu Idep (gerak pikiran), Sabda (gerak perkataan) dan Bayu (gerak perilaku). Ketiga prana inilah yang harus dikendalikan agar dapat terhindar dari segala perilaku yang negatif yang membawa kepada kesusahan hidup.
Di dalam kitab Sarasamuscaya dijumpai adanya sepuluh macam pengendalian diri terhadap gerak pikiran, perkataan, dan perbuatan. Adapun sepuluh macam pengendalian diri tersebut adalah tiga macam pengendalian pikiran, empat macam pengendalian perkataan dan tiga macam lagi adalah pengendalian perbuatan.
Rincian pengendalian terhadan pikiran :
a. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal
b.  Tidak berpikir buruk (marah) terhadap orang lain
c. Tidak ingkar terhadap kebenaran karma phala
Pengendalian diri terhadap perkataan :
a. Tidak berkata mencaci maki
b. Tidak berkata kasar
c. Tidak memfitnah
d. Tidak berkata bohong atau ingkar janji
Pengendalian diri terhadap perbuatan :
a. Tidak melakukan perbuatan menyiksa atau membunuh
b. Tidak melakukan perbuatan mencuri atau curang
c. Tidak melakukan perbuatan perzinahan
            Oleh karena nafsu atau keinginan itu muncul dari indriya, maka indriya tersebut patut dikendalikan agar mengantarkan manusia pada kebahagiaan dan bebas dari segala kesengsaraan. Mengendalikan indriya bukan berarti membunuh indriya itu sendiri, tetapi kita jangan sampai diperbudak olehnya, melainkan harus sebaliknya manusialah yang harus dapat menguasai indriya itu. Tanpa nafsu atau keinginan atau juga tanpa indriya, manusia tidak dapat hidup. Sang Hyang Widhi telah menganugrahkan nafsu atau keinginan dan juga indriya adalah justru untuk kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan demikian di dalam hidupnya manusia harus selalu mengendalikan diri dengan selalu mengarahkan nafsu keinginannya atau indriya – indriya kepada hal – hal yang baik dan bermanfaat agar senantiasa memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup sebagai manusia sebagaiman yang kita kehendaki bersama.
B. Tat Twam Asi
            Kata “Tat Twam Asi” ada disebutkan dalam kitab Candogya Upanisad yang berarti : Dikaulah itu; Dikaulah semua itu; Semua makhluk adalah Engkau. Engkau awal mula jiwatman (roh) dann zat (prakrti) semua makhluk. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwatmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwatman semua makhluk, dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau,;aku adalah Brahma.”Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10). Di dalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan “perikemanusiaan” dalam pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam pancasila, apabila kita cermati sungguh – sungguh adalah merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam kitab suci Weda.
            Kalimat Tat Twam Asi mengandung makna bahwa kita wajib dan harus mengasihi orang lain sebagaimana kita menyayangi diri kita sendiri. Inilah dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang Santhi (damai) dan Kertha (makmur). Tat Twam Asi selalu mengamalkan cinta kasih, bakthi, dan rela beryadnya (berkorban).

            Dalam kitab suci dikatakan demikian :
            “Hyang amati – mati wang tan padosa, haywa anglarani sarwa prani, haywa kita tan masih ring wang nista”
Artinya :
            Janganlah menyakiti makhluk hidup, janganlah tidak menaruh belas kasihan terhadap orang miskin  atau orang yang ditimpa kemalangan.
            Cinta kasih sejati ditandai dengan cinta kepada kebenaran dan kebaikan, maka menjadi kewaijban setiap orang untuk berbuat baik dan benar. Bhakti adalah perwujudan hati nurani yang ditunjukkan kepada orang tua, guru, bangsa, dan negara serta Hyang Widhi.
a. Bhakti kepada Hyang Widhi
 Merupakan perbuatan harus, brahman atman aikyam, demikian dikatakan dalam kitab suci yang berarti atman dan brahman itu sesungguhnya tunggal. Hyang Widhi memancarkan sinarnya kepada semua makhluk yang menyebabkan adanya hidup dan kehidupan di dunia ini. Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini dengan meyadnyakan diriNya. Oleh karena itulah kita harus berbakthi kepada Nya.
b. Bhakti kepada orang tua
Orang tua melahirkan (ibu), mendidik dan membesarkan anak – anknya, sehingga menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri serta sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab itu setiap anak  wajib dan harus berbakti kepada orang tua dengan selalu memenuhi permintaannya, menjalankan perintahnya dan menyenangkan hatinya.
c. Bhakti kepada Guru
Guru mempunyai tugas yang mulia sebab peningkatan kemajuan masyarakat itu sangat tergantung kepada guru. Oleh karena itu setiap orang siswa wajib bhakti/hormat kepada gurunya dengan senantiasa menuruti nasehatnya dan berbuat baik kepadanya (Guru Susruca)
d. Bhakti kepada bangsa dan negara
Selalu siap dan sedia mengorbankan jiwa raga untuk memperjuangkan dan menegakkan kemerdekaan bangsa terkandung pengertian bahwa setiap orang harus mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan atau golongan. Dalam usaha untuk memerdekaan diri dari belenggu awidya dan melepaskan diri reinkarnasi (punarbawa) orang harus dapat mengalahkan musuh yang ada pada diri sendiri.

Bentuk –Bentuk Ajaran Tat Twam Asi             
Wujud nyata dari ajaran Tat Twam Asi ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan perilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan (kama) manusia yang bersangkutan. Sebutan manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya seperti: manusia sebagai makhluk individu, sosial, religius, ekonomis, budaya dan lain – lainnya. Apabila semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimiliknya, betapa susah dan payah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami serta mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan dalam hidup dan kehidupan ini. Semua diantara kita tahu bahwa berat dan ringan “Rwabhineda”itu selalu ada dan berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaannnya. Demikian adanya dalam hidup ini kita hendaknya selalu saling tolong – menolong, merasa senasib dan sepenanggungan. Samalah hendaknya pikiran, hati, dan tujuan manusia, dengan demikian  semua hidup bahagia secara bersama – sama.
Hidup dan kehidupan ini sesungguhnya saling ketergantungan satu sama lainnnya. Manusia tidak akan dapat hidup dengan sendirinya, dia hendaknya selalu berusaha menyamakan pandangannya dalam hidup dan kehidupan ini. Manusia hendaknya selalu merasakan dan berperilaku dalam hidup dan kehidupan ini seperjuangan dan senasib. Dengan demikian hidup ini akan menjadi harmonis, indah dan damai. Misalkan apabila suatu daerah mengalami bencana, maka bencana yang terjadi itu bukan saja dianggap sebagai bencana bagi daerah tersebut saja, melainkan bencana kita semua.
Jiwa sosial itu seharusnya diresapi dengan sinar – sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata. Ajaran Tat Twam Asi selain merupakan filsafat sosial, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai/mewujudkan perbaikan moral. Susila adalah  tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan rukun diantara sesama makhluk hidup yang lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita patut mengenal, mengindahkan dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh – sungguh, sebagai berikut :
1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran – ukuran / norma – norma masyarakat yang timbul dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar).
2. Rasa tanggung jawab atas tindakannya itu.
3. Lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka bangunan itu akan mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya dengan tata susila bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang kokoh dan kuat, maka tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati sanubari kita. Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisuhda. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma. Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati mengamalkan ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.
Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yaitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaannya dalam hidup dan kehidupan ini. namun dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak sekali tanda-tanda kemerosotan moral yang terjadi di lingkungan masyarakat, terutama dikalangan anak-anak ( para remaja) kita. Hal itu disebabkan karena:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu yang ada dalam masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan.
3. Pendidikan moral yang belum terlaksana sebagaimana mestinya baik dilingkungan sekolah, masyarakat, maupun ditingkat rumah tangga.
4. Situasi dan kondisi rumah tangga yang kurang stabil/baik
5. Diperkenalkan secara populer obat – obatan dan sarana anti hamil.
6. Banyaknya tulisan – tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang kurang mengindahkan dasar-dasar, norma-norma/aturan-aturan tentang tuntunan moral.
 7. Kurang adanya individu/organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat bimbingan dan penyuluhan moral bagi anak-anak remaja yang menganggur.
Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh, dalam sifat dan prilaku kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya diantara kita dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomani, cermati dan amalkan kehidupan sehari-hari ini.

C. Satya (Kebenaran)
Kesetiaan dalam Hindu merupakan sebuah ajaran agama yang wajib kita amalkan. Kesetiaan di kelompokkan menjadi lima jenis yang lebih sering di sebut dengan Panca Satya. Kesetiaan dalam hidup merupakan hal yang sangat penting karena dengan kesetiaan kita bisa memperoleh sebuah kepercayaan yang mungkin tidak semua orang memilikinya. Kesetiaan itu muncul bukan dari orang lain  timbul dari diri kita sendiri jadi bagaimana cara kita untuk memupuk kesetian itu.
Dalam Hindu kesetian di bagi menjadi lima bagian yaitu :
  1. Satya Semaya
  2. Satya Herdaya
  3. Satya Mitra
  4. Satya Wacana

1. Satya Semaya
 Dalam hal ini, yang dimaksud dengan satya semaya adalah kesetian kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME). Dimana kita diwajibkan untuk setia akan Beliau karena atas Beliau kita ada. Jadi dengan kesetian kita kepada-Nya merupakan sebuah penghormatan atau penghargaan atas apa yang telah Beliau anugrahkan pada kita dalam hidup dan kehidupan kita.
2. Satya Herdaya
            Satya hrdaya adalah kesetiaan pada diri sendiri pada kata hati. Terkadang manusia sering lupa apa yang ada dalam kata hati dan mengabaikan bisikan hati yang paling dalam. Ingatlah kata hati adalah penuntun, jadi mulailah setia pada kata hati diri sendiri. Niscaya penyesalan akan berkurang jika setiap orang telah berjalan sesuai dengan kata hati.
3. Satya Mitra
Mitra adalah teman,  mereka adalah bagian penting dalam hidup . Dengan adanya teman, manusia bisa sedikit berbagi segala suka duka, kelu kesah. Teman sejati akan selalu ada dalam segala suasana hati. Jadi setiap orang perlu setia pada temannya karena manusia tak bisa hidup sendiri di dunia ini(sebagai mahkluk sosial) dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, terutama seorang teman.
4. Satya Wacana
  Sering terdengar kata wacana, banyak sekali yang terlihat dalam kenyataan orang lupa akan apa yang telah ia ucapkan. Dalam sebuah pemerintahan banyak cerminan orang yang hanya bicara dan tidak setia pada apa yang telah ia ucapkan, dan banyak contoh-contoh lain yang bisa  dijadikan cermin bahwa kesetian dalam perkataan masih sangat kurang. Jadi mulai sekarang belajarlah untuk setia pada perkataan dan  jangan hanya berjanji.

5. Satya Laksana
Satya  laksana atau  setia terhadap perbuatan. Sebagai manusia harus setia pada apa yang telah  dilakukan atau diperbuat. Adapun perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan haruslah berani untuk mempertanggungjawabkan akibat yang akan ditimbulkan. Ingat ada sebab ada akibat, jadi mulailah setia.
 Kesetian sangatlah berarti dalam kehidupan  karena kesetiaan merupakan modal paling sulit untuk di dapat. Dengan adanya rasa kesetiaan akan mampu mewujudkan kehidupan sosial kemasyarakatan yang mantap, sehingga pembinaan individu sangat mutlak diperlukan. Untuk itu perlu ditananmkan kesadaran untuk melaksanakan ajaran satya dengan sebaik – baiknya, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Upanisad berikut :
            Satyam vada, dharmam cara
            Svadhyayam ma pramadah
                                                            (Taittiriya Upanisad I.11.1)
            Terjemahan :
            (Berbicaralah selalu benar/tepat janji, berbuatlah kebajikan (dharma) tekunlah belajar) Svadhyaya dan memuja-Nya dan jangan lalai.
2.3 Relevansi etika dalam masyarakat Hindu di Bali Zaman Modern
            Bali adalah sebuah nama yang merepresentasikan keunikan dan keindahan. Dikatakan unik karena budayanya yang lain dari pada yang lain, disebut indah karena panorama alamnya yang  begitu menawan. Ajaran agama Hindu yang  dibungkus dengan indah antara adat dan budaya menjadi suatu konsep yang dipengang teguh oleh masyarakat Bali dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya serta menjadi suatu ciri khas tersendiri bagi provinsi yang dijuluki Pulau Seribu Pura ini. Keunikan Pulau Bali ini menjadi magnet penggerak menggeliatnya sektor pariwisata di Bali. Salah satu faktor pendukung berjalan lancarnya roda pariwisata Bali adalah keramah-tamahan masyarakat bali yang merupakan pengimplementasiaan dari ajaran tata susila (etika).
            Sampai saat ini dalam masyarakat Bali masih sangatlah kental penggunaan tata bahasa yang berstruktur yang merupakan cerminan dari etika berbahasa, sebagai contoh masih adanya penggunaan sor singgih basa dalam berkomunikasi kepada orang yang dihormati ataupun orang yang baru dikenal. Misalnya ketika kita ingin berkomunikasi kepada wangsa Brahmana kita semestinya mengunakan bahasa yang lebih sopan dan halus. Kepada orang yang wangsanya sepadan pun orang Bali sangat menjunjung etika berbahasa ini, contohnya penggunaan kata sandang “Bli” adalah kata sandang penghalusan kepada seorang laki-laki dan kata “Mbok” kepada seorang perempuan. Belakangan ini pembudayaan panganjali umat “Om Swastyastu” sudah mulai digeliatkan oleh para tokoh dan intelektual Hindu.  Begitu pula penggunaan kata matur suksma yang dimana kata itu bermakna mempersembahkan jiwa demi kedamaian bersama sering digunakan dalam mengakhiri sebuah acara.
Etika berpenampilan merupakan suatu yang sangat penting bagi setiap orang. Terkadang banyak orang berasumsi, pribadi seseorang dapat dilihat dari etika penampilannya Busana yang rapi, tidak mencolok, akan lebih senang dilihat dari pada busana yang kurang sopan.
            Ajaran tata susila (etika) yang diturunkan oleh nenek moyang khususnya dalam berprilaku juga masih diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali. Hal ini dapat terlihat dari penggunaan kata “Om Swastyastu” di saat bertemu dengan sesama umat, prinsip hidup “sagilik saguluk, salunglung sabyantaka” masih jelas melekat dalam darah masyarakat Hindu Bali. Ada juga konsep menyama braya yang merupakan ajaran etika kekeluargaan, dalam artian menganggap orang lain adalah sama seperti bagian keluarga sendiri. Merasa bahwa dalam hidup, sesama manusia adalah sama, konsep tat twam asi pun sangat jelas ada di sini. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong dalam melaksanakan suatu kegiatan.

3.1 Simpulan

            Etika sebagai bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama, di mana aturan-aturan dalam bertingkah laku yang baik telah dimuat dalam ajaran tata susila sehingga etika erat kaitannya dengan tata susila. Pada hakekatnya etika merupakan ajaran agar manusia berbuat sesuai dengan prinsip Sattwam (kebajikan), Siwam (kesucian) dan sundharam (keindahan). Lebih lanjut, dalam agama Hindu ajaran etika atau tata susila merupakan salah satu bagian dari ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Menilik dari konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, berarti etika merupakan bagian penting dalam dari kehidupan manusia khususnya umat Hindu. Ajaran etika merupakan warisan yang adiluhung dari nenek moyang masyarakat Hindu yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh pewarisnya. Ada berbagai tafsiran mengenai etika yang dijawantahkan ke dalam kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam bertingkah laku, seperti tata krama, tata sopan santun, peraturan sopan santun, norma sopan santun, tata cara bertingkah laku yang baik dan menyenangkan dan lain sebagainya, yang menuntun manusia untuk menjadi manusia yang berkepribadina mulia, berbudi pekerti luhur bahkan menuntun ke arah tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Ini sesuai dengan adagium Hindu “ Moksartham jagadhita ya ca iti dharmah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar