Halaman

Jumat, 17 Januari 2014

Contoh Proposal Mini Penelitian Kualitatif

A. TRANSFORMASI  UPACARA NGABEN BERBASIS TATTWAISME DAN ESENSIALISME STUDI PENDIDIKAN DALAM PELAKSANAAN NGABEN MASSAL DI DESA SAWAN KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG

B. Latatar Belakang
Bali merupakan primadona pariwisata indonesia yang memiliki potensial alam dan seni budaya yang dapat diandalkan sebagai daya tarik wisata. Perkembangan pariwisata di Bali bagaikan pisau bermata dua yang  memiliki dampak  negatif dan  positif yang mesti difilter oleh masyarakat Bali supaya dapat menunjang perkembangan budaya Bali kearah yang positif.  
 Bali yang menjadi tujuan wisata Dunia siap tidak siap akan  terkena imbas dari era globalisasi sehingga terjadi perubahan sosial berupa keterkaitan antara elemen-elemen akibat perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional. Globalisasi membawa dampak yang sangat besar pada semua sektor kehidupan masyarakat Bali. Hal tersebut dapat kita lihat dari tingginya pergulatan antara nilai-nilai lokal dan global yang memasuki segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Pengaruh globalisasi tidak dapat ditolak karena perkembangan kebudayaan manusia akan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Sesuai dengan pernyataan diatas dalam Maryadi (2000:12) dinyatakan bahwa kebudayaan suatu masyarakat selalu berkembang dari waktu kewaktu. Perkembangan budaya ini akan menimbulkan terjadinya perubahan kebudayaan.
 Masyarakat Bali sendiri telah mengalami perubahan (transformasi) yakni dari masyarakat tradisional ( pramodern ) ke masyarakat modern (postmodern) yang ditandai oleh berlakunya neoliberalisme. Boudieu (dalam Fashri, 2007) menunjukkan bahwa neoliberalisme memiliki beberapa ciri yakni status sosiologi manusia adalah homo economicus, epistemology (cara pandang) adalah economicus, seluruh bidang kehidupan manusia adalah komoditas, relasi manusia adalah transaksi untung rugi, efektivitas dan efisiensi diukur berdasarkan kinerja ekonomi pasar, manusia dikuasai oleh etika konsumsi.
Masyarakat Bali yang dominan beragama Hindu menjadikan ajaran Catur Purusa Artha sebagai dasar dalam kehidupan beragama. Catur Purusa artha artinya empat tujuan hidup manusia dalam upaya mencapai jagadhita dan moksa. Dharma yang artinya kebenaran merupakan landasan utama di dalam mencari artha dan pemenuhan kama di dalam mencapai jagadhita dan moksa.
Seiring dengan perkembangan jaman, nilai-nilai yang terdapat didalam ajaran Agama mulai berubah. Pada jaman era globalisasi masyarakat Bali sudah mulai mengutamakan material diatas segalanya.
Hal ini lebih dipertegas lagi dalam Maryadi (2000:15) dinyatakan bahwa kini masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi budaya spiritual ke kebudaya material. Transformasi budaya spiritual kedalam budayaan material dapat kita amati dalam kehidupan masyarakat Bali di zaman modern yang sudah mulai mengutamakan Artha dan pemenuhan hasrat atau Kama dibandingkan menjalankan Dharma sebagaimana mestinya. Sejalan dengan ini, dalam Piliang (1999:105) juga dinyatakan bahwa didalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Pemenuhan kama di dalam Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Piliang, 1999:105) juga dinyatakan bahwa di dalam Anti-Oedipus (hasrat atau hawa nafsu) tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena itu ia selalu diproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang disebut mesin hasrat (desiring machine).
Pada era globalisasi ini banyak masyarakat Bali yang merubah pola hidup dari masyarakat agraris ke pariwisata demi mencari Artha yang lebih banyak untuk memenuhi kepuasan hasrat atau keinginan. Fenomena tersebut mengakibatkan adanya transformasi budaya dari masyarakat sosial religious ke masyarakat individualisme. Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat Bali tata cara pelaksanaan upacara agama juga mulai mengalami transformasi salah satu contohnya adalah upacara ngaben, zaman dahulu melaksanakan ritual upacara ngaben semakin lama waktunya semakin baik karena hubungan kekerabatan antara individu yang satu dengan yang lainnya semakin berarti. Pada jaman itu membuat sarana upakara dikerjakan oleh masyarakat secara bersama-sama dengan system gotong royong (ngoopin) dan proses pelaksanaan upacara ngaben juga memerlukan waktu yang sangat lama, biasanya disertai dengan acara makan-makan sehingga memerlukan biaya yang cukup banyak, tenaga yang cukup besar dan waktu yang diperlukan juga relatif lama. Namun sekarang dalam masyarakat Bali pada umumnya telah terjadi perubahan pola pelaksanaan upacara ngaben dengan membeli atau memesan sarana upacara pada Griya karena masyarakat menginginkan yang serba praktis atau simple. Masyarakat cukup menyerahkan uang dan banten lengkap dengan yang muput telah disiapkan oleh Griya tersebut. Meskipun memakan waktu yang relatif singkat, namun pelaksanaan upacara ngaben pada zaman sekarang lebih bersifat hiperealitas yadnya yaitu pelaksanaan yadnya yang melampui hakikat atau esensi dari upacara tersebut sehingga lebih terkesan bersifat Rajasika (jor-joran)
Pelaksanaan upacara agama yang bersifat rajasika ( jor-joran), yang sangat luar biasa beratnya  seperti sekarang ini, yang menguras sebagian besar uang, dan tenaga.  Apabila budaya seperti ini terus dipertahankan maka masyarakat Bali akan  tertinggal dan selalu menjadi budak di kandangnya sendiri. Namun, apabila masyarakat Bali mau mengadakan transformasi secara berkesinambungan untuk menggali pola pelaksanaa upacara Agama yang ideal khususnya upacara ngaben maka nasib orang Bali tidak akan sengsara seperti orang hawai.
Transformasi Upacara Ngaben juga terjadi di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, yang dimana pada jaman dahulu masyarakat sawan melaksanakan upacara ngaben perseorangan atau individualisme yang biasanya menghabiskan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar, lama-kelamaan pola upacara ngaben ini terus berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Transformasi Upacara Ngaben yang terjadi di Desa Sawan lebih mengarah kearah yang positif, dimana pada zaman sekarang ini pelaksanaan upacara ngaben di desa sawan berbasis tattwaisme dan esensialisme sehingga didalam prosesi upacara ngaben tersebut memerlukan waktu yang cukup singkat, tenaga dan biaya yang relatif sedikit dengan tidak mengurangi hakikat dari upacara ngaben tersebut.
Transformasi upacara ngaben di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng menarik untuk diteliti karena pelaksanaan upacara ngaben di Desa Sawan sangat berbeda dengan Upacara ngaben pada masyarakat umum di Bali yang cendrung bersifat Rajasika (jor-joran).
C. Rumusan Masalah
Dari paparan  di atas, maka akan diteliti tentang  Transformasi upacara Ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi Pendidikan Keagamaan Dalam Pelaksanaan Upacara Ngaben Massal sesuai objek penelitian kajian budaya dengan karakternya yang bersifat kritis di Desa Pakraman Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Dengan merumuskan pokok masalah sebagai berikut:
2.1 Adakah transformasi pola pengabenan dari ritualisme mengarah ke tattwaisme dan esensialisme dalam upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
2.2 Mengapa terjadinya transformasi pola upacara ngaben dari pola upacara ngaben individualisme kearah upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
2.2 Apa makna pendidikan keagamaan yang ada kaitannya dengan tattwaisme dan esensialisme dari upacara ngaben massal yang diapersepsi oleh umat Hindu di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum suatu penelitian pasti dilandasi oleh tujuan yang ingin dicapai, karena berhasil tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan itu sendiri.
Tujuan merupakan syarat mutlak dalam suatu penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini tertuang dalam tujuan umum dan tujuan khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Penelitian ilmiah sudah pasti menginginkan hasil yang maksimal dan mampu menjawab segala penomena atau gejala yang ditemukan dalam masyarakat sehingga fenomena-fenomena tersebut tidak menimbulkan penafsiran-penafsiran yang keliru di kalangan masyarakat yang beragama Hindu maupun masyarakat umum. Tujuan yang dirumuskan secara jelas akan dapat mengarahkan suatu penelitian kearah suatu hasil yang maksimal.
Tujuan penelitian senantiasa dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian, sehingga menetapkan tujuan penelitian merupakan suatu hal yang penting bahkan harus dilaksanakan.
Penulis dalam penelitian ini ingin mengkaji dan memahami transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme dalam era globalisasi di Desa Pakraman Sawan. Diinspirasi oleh pemikiran potmodernisme dalam perspektifkajian budaya. Penelitian ini mencoba memahami transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme untuk mengungkap adanya nilai-nilai religius yang terkadung didalam upacara tersebut.
2. Tujuan khusus
Dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang sifatnya sangat khusus. Hal ini berarti penulis harus mampu mengungkap lebih dalam dari permasalahan tersebut, sehingga hasil yang di peroleh sesuai dengan harapan dan tujuan dari penulis itu sendiri. Tujuan yang ingin dicapai yaitu:
2.1 Untuk mengatahui adanya transformasi pola pengabenan dari ritualisme mengarah ke tattwaisme dan esensialisme dalam upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
2.2 Untuk mengetahui penyebab terjadinya transformasi pola upacara ngaben dari pola upacara ngaben individualisme kearah upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng
2.3 Untuk mengetahui makna pendidikan keagamaan yang ada kaitannya dengan tattwaisme dan esensialisme dari upacara ngaben massal yang diapersepsi oleh umat Hindu di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng
 E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan dapat menghasilkan sumbangan yang bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan sehingga menambah kazanah pengetahuan secara umum. Hasil penelitian ini sangat perlu diperkenalkan kepada seluruh umat hindu yang ada di Bali secara umum maupun umat hindu yang berada di Desa pakraman Sawan. Dengan terlaksananya penelitian ini masyarakat secara umum dapat memberikan deskripsi dan pemahaman terhadap fenomena Transformasi upacara ngaben yang berbasis tattwaisme dan esensialisme.  Sehubungan dengan hal tersebut maka penelitian ini mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun dikalangan masyarakat yang beragana Hindu dan Non Hindu sehingga masyarakat Hindu di dalam melaksanakan ritual tidak bersifat jor-joran atau rajasika melainkan bersifat satwika sesuai dengan ajaran agama Hindu. Dengan melaksanakan ritual yang bersifat satwika akan mampu menepis anggapan miring tentang ritual agama Hindu di Bali oleh umat lain. Manfaat penelitian ini akan dituangkan ke dalam manfaat secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat Secara Teoretis
Manfaat penelitian ini secara teoretis adalah memaknai fenomena transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan upacara ngaben massal yang dilihat dari perspektif kajian budaya.  Manfaat lainnya, dapat menambah referensi tentang transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massal bagi calon peneliti lain yang tertarik dengan penelitian ini dan mereka dapat meneliti dengan topik dan masalah yang berbeda. Selain itu, penelitian ini  dapat memperkaya pengalaman dan peningkatan kualitas dan kemampuan peneliti dalam penelitian.
2. Manfaat Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak terkait pemegang kebijakan pada instansi pemerintah (Departemen Agama), lembaga adat, dan lembaga agama Hindu yang terkait dalam menangani upacara keagamaan. Pertama, pemerintah (Departemen Agama) kiranya dapat menggunakannya sebagai  bahan pertimbangan  dalam pembuatan kebijakan pembangunan mental spiritual  dalam melaksanakan upacara ngaben. Kedua, pimpinan masyarakat (bendesa pakraman, kelihan banjar) kiranya dapat menggunakannya sebagai sumber rujukan dalam mengorganisasikan upacara ngaben di desa pakraman atau banjar yang dipimpinnya. Ketiga,  pimpinan dan atau tokoh agama Hindu (pandita, pemangku, dan cendekiawan), kiranya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan pencerahan kepada sisya atau umat Hindu yang ingin melaksanakan upacara ngaben. Keempat, sarati atau tukang banten, kiranya dapat memakai hasil penelitian ini sebagai acuan atau sumber rujukan dalam membuat  banten ngaben. Kelima, lembaga umat yaitu majelis umat Hindu seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)  kiranya dapat menggunakannya sebagai referensi dalam melakukan pembinaan terhadap umat Hindu mengenai perubahan prilaku umat Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara ngaben. Keenam. Umat Hindu kiranya hasil penelitian ini  dapat dipakai oleh umat se-dharma sebagai bahan acuan dalam memperkuat  posisi di tengah-tengah perkembangan dunia global sehingga masyarakat dapat memilih upacara ngaben sesuai kemampuan.

 
F. KAJIAN PUSTAKA
1.  Konsep
Dalam sebuah penelitian konsep sangat penting agar dapat membangun teori. Ahimsa Putra (2001:6) mengatakan bahwa  serbuah teori dapat dibangun  apabila telah ada pemahaman dengan baik tentang konsep-konsep analitis serta  diketahui cara penerapannya dalam penelitian.  Dalam penelitian ni  akan dikemukaan tiga konsep yang mendukung peneltian, yaitu  konsep komodifikasi upacara ngaben,   konsep era globalisasi, dan  konsep Desa Pakraman Sawan       
1.1 Upacara ngaben
Upacara ngaben terdiri dari kata upacara dan ngaben. Menurut Keputusan Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat di Denpasar  tanggal 4 Nopember 2007 upacara  berasal dari bahasa Sansekerta suku kata “Upa” yang berarti “Hubungan” dan “Car” yang berarti gerak atau action mendapat akhiran a menjadi kata kerja yang berarti gerakan.  Jadi upacara  adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari suatu yadnya (tindakan). Sejalan dengan itu Titib (1998: 147) menjelaskan bahwa secara harfiah tata pelaksanaan suatu yajna disebut upacara. Kata upacara dalam bahasa Sansekerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa,  kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, pitara maupun resi. Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata pelaksanaan sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran agama Hindu. Kesucian adalah sifat Tuhan. Orang harus suci lahir dan batin bila ingin memanjatkan doa dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara memberikan identitas tersendiri bagi agama-agama tertentu yang membedakan dengan agama yang lainnya. Masing-masing agama memiliki aturan dalam tata pelaksanaan upacaranya.
Menurut Wiana (2004: 25-27) upacara ngaben termasuk ke dalam upacara pitra yajna.  Ngaben berasal dari bahasa Bali  dari asal kata “api” mendapat prefik nasal “ng” dan sufik “an” sehingga menjadi “ngapian”, kemudian mengalami sandi sehingga menjadi “ngaben”. Terjadi perubahan bunyi konsonan “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “p, b, m, w (rumpun huruf bilabial) sehingga kata “ngapen” berubah menjadi “ngaben”. Kemudian kata ngaben diberi arti menuju “api”. Dalam ajaran agama Hindu api adalah lambang kekuatan Dewa Brahma, jadi ngaben berarti menuju Brahma. Maksud dan tujuan ngaben adalah melepaskan atma dari unsur Panca Maha Butha dan mengantarkan sang  atman menuju alam Brahman atau alam ketuhanan
Dilihat dari keadaan jazad orang yang diaben, maka upacara ngaben itu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Ada yang disebut sawa wadana, asti wadana, dan swasta. Perbedaan  jenis ngaben tersebut terletak pada pangawak. Pada ngaben sawa wadana ada jazad (sawa)  orang yang baru meninggal sebagai pangawakNgaben asti wadana  adalah upacara ngaben yang menggunakan tulang belulang  orang yang lama meninggal dan sudah lama dikuburkan. Tulang belulang itu diangkat dari kuburan dan tulang belulang yang tersisa itulah yang dijadikan pangawak. Ngaben swasta adalah upacara ngaben yang  tidak ditemukan jenazahnya, pangawaknya  menggunakan simbol  dalam bentuk Tirtha atau Kusa ( daun alang-alang).
1.2 Tattwaisme
Menurut Semadi Astra, dkk. Kata Tattwa dinyatakan berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti kebenaran, kenyataan, sesungguhnya, hakekat ( Sansekerta-Indonesia 1983-1984 : 96 ) Tattwa merupakan pandangan atau ajaran kebenaran menurut pandangan Agama Hindu. Ajaran tattwa agama lebih banyak bernuansa pandangan tentang kebenaran yang lebih bernuansa nusantara. Artinya ajaran tattwa itu lebih banyak ditulis oleh orang-orang suci hindu pada kejayaan agama Hindu di nusantara, seperti Contohnya : kitab jnana tattwa, tattwa jnana, Bhuwana kosa, kitab Gana Pati tattwa, kitab Wrahaspati tattwa.  Ajaran tattwa pada umumnya membahas tentang hakekat ketuhanan (Widhi tattwa), hakekat tentang atma ( Atma tattwa), kebenaran tentang proses kelahiran ( Punarbhawa tattwa).  Tattwa yang dimaksudkan dalam transformasi upacara ngaben adalah ajaran – ajaran suci tentang kebenaran yang berdasarkan kitab suci Agama Hindu yang menjadi acuan di dalam melaksanakan upacara ngaben di Desa sawan kecamatan Sawan kabupaten buleleng.
1.3 Esensial
Menurut Badudu dkk ( 1994 : 399) menyatakan bahwa kata esensi/esensial, inti, hakekat, hal yang pokok, kemukakanlah persoalannya supaya jelas bagi kami. Esensial /esensi, yang sifatnya hakiki, inti, paling penting, masalah yang dikemukakannya selalu masalah-masalah. Sedangkan menurut Maulana dkk, ( 2003:101 ) dinyatakan bahwa kata esensi atau esensial memiliki arti mendasar, yang penting, utama, hakiki. Kata esensi ini berasal dari bahasa inggris yaitu essence  yang memiliki arti sama dengan kata gist,juga sama dengan kata Quintenssence yang artinya intisari, pokok, sari pati, inti. Sedangkan Echols dkk ( 2000:218-462) menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan esensi adalah hakikat terpenting , inti, sari pati, intisari makna, atau hakikat terdalam.
Jadi yang dimaksud Transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme dalam penelitian ini adalah perwujudan upacara ngaben dalam era globalisasi merupakan suatu upaya sadar dengan perhitungan matang dari kelian adat, griya-griya, dan masyarakat Desa Sawan dalam melaksanakan upacara ngaben yang sesuai dengan ajaran agama dan hakikat dari upacara ngaben tersebut sehingga pelaksanaan upacara ngaben tersebut tidak hiperealitas yadnya yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan masyarakat Sawan.
1.4 Desa Pakraman Sawan
Desa adat Raka dalam Gorda (1999:2)  dinyatakan sebagai suatu kesatuan wilayah dimana warga negaranya secara bersama-sama mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat karena adanya karang desa (wilayah teritorial), awig-awig desa Adat (sistem aturan desa dengan peraturan pelaksanaannya). Disamping itu adanya pura Kahyangan Tiga (pura Desa sebagai suatu  sistem tempat persembahyangan bagi warga desa adat).
Dari deskripsi desa adat tersebut di atas, terungkap bahwa fungsi utama desa adat adalah mengonsepkan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Pura kahyangan tiga merupakan unsur yang mengikat rasa kesatuan warga desa adat.  Swellengrebel (1960)  dan Covarrubias (1972) dalam Gorda (1992:2)  menyatakan bahwa kesatuan pemujaan di Pura Kahyangan Tiga merupakan unsur pengikat sebuah desa adat. Dengan demikian desa adat merupakan organisasi khusus orang Bali yang beragama Hindu.
Sejak dikeluarkannya Perda  Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebutan ”desa adat” diganti menjadi ”desa pakraman: Desa pakraman adalah ” kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa adat atau desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu di Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa adat atau pakraman, terdiri atas tiga unsur, yaitu: (1) unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu), (2)  unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu), dan (3) unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya).
Desa pakraman Sawan satu-satunya desa pakraman yang berada di desa Sawan, yang memiliki keunikan makin besarnya transformasi budaya ritual upakara upacara yadnya yang ditunjukkan dengan makin kuatnya materialisme yang tertanam didalam ideologi diri masyarakat Sawan sehingga segala bentuk ritual keagamaan diukur dengan material akan tetapi tidak melupakan hakikat yadnya dan rasa kekeluargaan antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya.
2.  Teori
            Pada dasarnya yang disebut teori adalah azas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Kerlinger (2004:16-17) sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu.
            Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis cultural studies. Ada pun teori-teori yang digunakan antara lain (1)Teori Transformasi Budaya ( 2 )Teori gerakan sosial baru ( 3 ) teori esensialisme. Teori-teori tersebut sebagai berikut:
1. Teori Perubahan Sosial
            Teori perubahan sosial dan budaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perubahan sosial dari Karl Marx dan Max Weber, yang dimana Karl Marx  merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi sebab perubahan.
            Karl marx dalam (Beteille, 1970)......................menyatakan ada tiga dimensi yang membagi masyarakat dalam suatu susunan atau stratifikasi yang menyebabkan terjadinya Perubahan sosial masyarakat, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Weber  (Beteille, 1970).
            Berbeda dengan Karl Mark, yang memandang perubahan sosial dari sisi politik dan ekonomi. Max Weber (1864-1920)  dalam karya-karyanya merumuskan penyebab perubahan sosial secara luas yaitu dari sisi ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
2. Teori Tindakan
Teori Tindakan, yaitu individuv melakukan suatu tindakan berdasarkan berdasarkan pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori Max Weber ini dikembangkan oleh Talcott Parsons yang menyatakan bahwa aksi/action itu bukan perilaku/behavour. Aksi merupakan tindakan mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Talcott Parsons beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Talcott Parsons juga beranggapan bahwa tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh system sosial, system budaya dan system kepribadian dari masing-masing individu tersebut. Talcott Parsons juga melakukan klasifikasi tentang tipe peranan dalam suatu system sosial yang disebutnya Pattern Variables, yang didalamnya berisi tentang interaksi yang avektif, berorientasi pada diri sendiri dan orientasi kelompok.

3.  Teori Neo-evolusionisme
Teori ini dikembangkan oleh Talcott Parson yang bermula dari seminatr yang diselenggarakannya di Harvard Univecity pada tahun 1963. Parson dikenal sebagai a biologist masyarakat manusia tidak ubahnya organisme biologis dan karya karyanya banyak dikenal sebagai paradigma ini. Teori Person yang terkenal adalah teori tentang tindakan manusia. Tentang hal ini ia membedakan menjadi empat subsistem: organisme, kepribadian, system sosial, dan system keltural. Keempat unsure ini tersusun dalam uraian sibernetic (cybernic order) dan mengendalikan tindakan manusia.
Semua tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: system cultural, sosial, kepribadian, dan organisme. Sistem cultural merupakan sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan symbol-simbol. System ini penuh dengan gagasan dan ide. Karena itu, kaya akan informasi, tetapi lemah dalam energy dan aksi. Aplikasi dari sistem kultural  yang kaya informasi tersebut ada pada sistem di bawahnya. System cultural memberikan arahan, bimbingan, dan pemaknaan terhadap tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada bentuk tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada tindakan nyata, kepribadian, system sosial berfungsi sebagai mediator terhadap system kultural. Artinya, symbol-simbol budaya diterjemahkan begitu rupa dalam system sosial ytang kemudian disampaikan kepada individu-individu warga sitem sosial melalui proses sosialisasi dan internalisasi.
Tidak seperti prinsip teori evolusi sosial yang membagi perkemabangan masyarakat secara dikotomis, Parson-seperti halnya teoretisi neo-evolusi lainnya, menunjukkan adanya perkembangan masyarakat transisional. Menurut Parson, masyarakat akan berkembang melalui tiga tingakatan utama: (1) primitive; (2) intermediate; dan (3) modern. Dari tiga tahapan ini, oleh Parson dikembangkan lagi kedalam subklasifikasi evolusi sosial lagi sehingga menjadi lima tingkatan: (a) primitif; (b) advanced primitif and arcchaice; (c) historic intermediate; (d) seedbed societies; dan (e) modern societies.
4. Teori Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.

 
G. METODE PENELITIAN
1.  Subjek dan Objek Penelitian
1.1 Subjek Penelitian
Arikunto (2002 : 107) menyatakan bahwa subjek adalah suatu hal yang menjadi sumber data. Sumber data dapat berupa, person (sumber data berupa orang), place (sumber data berupa tempat) dan paper (sumber data berupa huruf, angka, gambar dan simbol-simbol lainnya. Subjek penelitian adalah setiap   individu yang akan diselidiki atau yang akan diteliti. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah warga di Desa Pakraman Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng
1.2  Objek Penelitian
Arikunto (2002:96) menyatakan bahwa objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Komodifikasi Upacara Ngaben di Era Globalisasi di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Pemilihan objek ini berdasarkan atas gejala yang telah terjadi sekian lama akan tetapi segi nilai yang membuat masyarakat tetap mempertahankan upacara tersebut sehingga menarik untuk dikaji.

 
2. Pendekatan dan jenis Penelitian
2.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam  penelitian mengenai Transformasi Upacara Ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massaldi Desa Pakraman Sawan adalah menggunakan pendekatan fenomenologis
Sehubungan dengan penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis. Menurut Moleong ( 2003 : 15 ) dinyatakan bahwa fenomenologis adalah pendekatan yang digunakan untuk menyelidiki pengalaman kesadaran yang berkaitan dengan pertanyaan seperti; bagaimana pembagian antara subyek (ego) dengan obyek (dunia) muncul dan bagaimana suatu hal di dunia ini diklasifikasikan.
2.2 Jenis Penelitian
            Penelitian yang dilaksanakan ini bertujuan untuk mengetahui dan mengamati terjadinya transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng. Hal ini bertolak dari pengamatan awal yang dilaksanakan bahwa pola pelaksanaan upacara ngaben di desa sawan telah mengalami perubahan dari ngaben individualisme kearah ngaben massal.
            Berdasarkan uaraian diatas, maka jenis penelitian yang dilaksanakan ini bisa dikatakan tergolong kedalam penelitian kualitatif tipe studi, karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola upacara ngaben di desa sawan yang telah mengalami perubahan dari individualisme kearah ngaben massal.
3. Data dan Sumber Data
            Menurut Hadi ( 1985:136) dinyatakan bahwa data adalah bahan mentah yang tidak berarti apa-apa, jika tidak segera diolah. Sementara itu menurut Margono ( 1996:23) data diartikan sebagai informasi yang diperoleh langsung dari sumber informasi yang masih bersifat mentah, sehingga data perlu segera diolah.
            Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa data adalah informasi yang diperoleh secara langsung dari sumber informasi yang masih bersifat mentah, sehingga harus segera diolah untuk bisa disajikan kedalam bentuk hasil penelitian.
            Pekerjaan mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya melalui fieldwork , yaitu pekerjaan mencatat, mengamati, mendengarkan, merasakan, mengumpulkan dan menangkap semua fenomena data dan informasi tentang fenomena yang diselidiki. Dalam Moleong (2007:157) dinyatakan sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan sebagainya
Metode Penelitian kualitatif yang digunakan pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan konsep atau mengembangkan pemahaman dari suatu fenomena, dalam hal ini Transformasi Upacara Ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massaldi Desa Pakraman Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. 
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan data skunder. Data primer menurut Margono ( 1996:26) adalah data yang langsung diperoleh dari sumber informasi pertama, seperti data hasil wawancara, data hasil observasi dan sebagainya. Sedangkan menurut moleong (2007:159) data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan berperan serta dan data hasil wawancara langsung dengan informan. Dalam kaitannya dengan dengan penelitian yang dilaksanakan ini, maka data primer yang dikumpulkan adalah data tentang transformasi upacara ngaben yang terjadi di desa sawan. Data primer selain data yang telah disebutkan di atas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data tentang sesuatu gejala sosial keagamaan yang bersifat kompleks, berupa data tentang gagasan, ide, pandangan, motif-motif yang melandasi atau alasan-alasan yang terkait dengan permasalahan penelitian.
Sedangkan data skunder menurut Redana (2001:242) dinyatakan  bahwa data sekunder merupakan data pelengkap sajian data primer. Data skunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya dari perpustakaan atau dari karya ilmiah peneliti terdahulu.
Sementara menurut Moleong (2007:159) dinyatakan bahwa data sekunder adalah data diluar kata-kata dan tindakan berupa buku, majalah ilmiah, dokumen pribadi, arsip-arsip, majalah dan sebagainya.
Informasi secara lengkap di dalam membuat karya ilmiah dapat diperoleh dengan mengkaji buku utama dan buku penunjang. Dengan demikian dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik kepustakaan dan dokumentasi.
Berdasarkan kedua uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa data sekunder adalah data di luar kata-kata dan tindakan, berupa buku-buku, surat kabar, majalah, catatan pribadi dan sebagainya. Dengan menggunakan sumber data seperti diatas, diharapkan perolehan data menjadi lebih kaya dan memadai. Disamping tujuan tersebut diatas hal ini juga bertujuan untuk memberikan peluang untuk melakukan pengecekan silang, sehingga kesahihan data yang diperoleh serta keabsahan datanya bisa lebih terjamin.
Peneltian ini adalah penelitian kualitatif dengan design penelitian terfokus pada observational case studi. Dalam  design penelitian ini cara pengumpulan data yang utama adalah Exfost facto yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji suatu permasalahan yang telah terjadi untuk diteliti pada massa sekarang untuk mendapatkan data yang akurat dan jelas sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan titik perhatian penelitian  pada masyarakat  di Desa Pakraman Sawan dalam Tansformasi Upacara Ngaben ngaben yang berbasis tattwaisme dan esensialisme
4. Teknik pengumpulan data
Setelah pemilihan dan analisis masalah yang akan diteliti, langkah berikutnya  yang harus diperhatikan adalah penentuan metodologi penelitian yang akan digunakan sehingga masalah tadi dapat terjawab secara tepat dan tarandalkan kesahihannya ( faisal, 2005:31). Dalam penelitian ilmiah untuk mendapatkan data yang diperlukan, para peneliti perlu menggunakan metode-metode tertentu untuk mengumpulkan data. Baik buruknya suatu research sebagai tergantung kepada teknik-teknik pengumpulan datanya. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan metode observasi,interview, kepustakaan, dan metode dokumentasi.
4.1 Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data yang dilaksanakan melalui pengamatan panca indra dan disertai pencatatan secara sistematis. Menurut Suprayoga (2001:167)  Untuk mendapatkan data, keterangan-keterangan tentang fenomena yang diteliti, dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung dan pencatatan secara sistematis. Data yang diperoleh dalam observasi dicatat dalam sebuah catatan observasi. Pengamatan dan pencatatan yang berkaitan dengan Komodifikasi upacara ngaben di Desa Sawan merupakan suatu rangkaian kegiatan dari observasi.
Informan yang dimaksud adalah orang-orang yang akan diwawancarai untuk mendapatkan berbagai informasi terhadap adanya transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme  di Desa Sawan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Para informan yang dipilih pada penelitian ini adalah mereka yang mempunyai kemampuan dan pemahaman yang memadai tentang masalah yang diteliti. Dalam penentuan informan penulis akan mencari seseorang yang memang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya komodifikasi upacara ngaben di desa Sawan. Dalam hal ini, informan diharapkan sekali untuk memberikan informasi secara terbuka kepada penulis berkenaan penelitian tersebut diatas sehingga penelitian tersebut dapat disajikan secara akurat.
 4.2 Wawancara
                  Wawancara merupakan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara tatap muka antara intervierwer (orang yang menginterview) dengan informan (orang yang diinterview) atau tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu (Setya, 1983:37). Tujuan yang ingin dicapai dari tekhnik ini adalah memperoleh data yang obyektif dan relevan sesuai maksud dan tujuan dari penyelidikan tersebut. Adapun wawancara yang dilakukan oleh peneliti merupakan suatu kajian yang sangat mendalam ( indept interview) artinya wawancara yang dilakukan secara berulang – ulang kepada sejumlah informan untuk mendapatkan data yang benar pada setiap aspek dan objek penelitian sampai data itu mampu menjawab berbagai persoalan yang akan dipecahkan terutama yang berkaitan dengan proses terjadinya komodifikasi upacara ngaben.
Wawancara merupakan suatu teknik yang dipakai untuk menggali berbagai informasi dari informan dengan tujuan informasi yang didapat sesuai dengan realitas yang dihadapi di lapangan. Secara umum teknik wawancara terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu : wawancara berstruktural dan wawancara tidak berstruktural.
4.3 Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan – keterangan atau informasi dari catatan-catatan tentang gejala-gejala atau peristiwa masa lalu. Keuntungan metode ini adalah dalam pengambilan data dari peristiwa masa lalu, menghemat waktu, tenaga, biaya,data yang sudah didokumentasikan biasanya sudah tersusun baik, tidak ada kesangsian (Setya, 1983:39)
Metode dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dalam suatu penelitian dengan mengumpulkan data langsung yang ditunjukkan pada subyek penelitian, namun melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku-buku, laporan dan dokumen lainnya.
Data dokumen sangat penting dalam suatu penelitian untuk melengkapi hasil wawancara dan data hasil pengamatan agar data – data dapat diperoleh secara akurat. Data yang diharapkan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan penelitian diatas.
5. Tenik Analisis Data
Tahapan analisis data adalah salah satu tahapan kunci dalam penelitian. Tahap ini baru bisa dilakukan setelah semua data terkumpul.
Masalah yang tidak kalah penting dari apa yang sudah diperoleh dari hasil penelitian adalah pengelolahan data. Dalam penelitian kualitatif analisis data telah dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan atau mulai dari persiapan sebuah penelitian sampai akhir sebuah penelitian. Artinya, analisis data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung secara berkelanjutan sampai akhir penulisan sebuah penelitian. Menganalisis data dalam penelitian kualitatif lebih difokuskan selama proses di lapangan bersama dengan pengumpulan data ( sugiyono, 2006:275)
Data primer dan data skunder yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan kepustakaan telah terkumpul akan dipilah terlebihs dahulu, dengan segera digarap oleh peneliti yang akan mengolah data tersebut. Pengolahan data tersebut disebut pengolahan data, dan ada pula yang menyebut sebagai sebuah analisis data (Suharsini, 2006:235). Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah :
5.1 Pembuangan Data
Penelitian ini difokuskan pada proses terjadinya komodifikasi upacara ngaben di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, maka data yang akan dimanfaatkan hanyalah data yang relevan dengan fokus penelitian. Dalam proses mereduksi aka nada pembuangan data terutama data-data yang diperoleh dalam pengumpulan data yang tidak terkait dengan tujuan penelitian.
5.2 Transformasi Data
Transformasi data adalah pengubahan bentuk data menjadi bentuk lain agar efektif dan efisien tanpa mengubah atau menghilangkan substansinya. Data yang ditransformasi dalam penelitian ini adalah jawaban yang diberikan oleh para informan atas pertanyaan yang diajukan pada saat wawancara.
5.3 Pengelompokan Data
Data yang diperoleh dalam pelaksanaan pengumpulan data belum teratur karena di dapat dari berbagai sumber. Misalnya data tentang komodifikasi upacara ngaben, proses komodifikasi, dan dampak yang ditimbulkan dari terjadinya proses komodifikasi upacara ngaben di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, maka untuk memudahkan menganalisis dan menarik simpulan, data itu dikelompokkan dalam satu kelompok.
5.4 Penyajian Data
Data yang telah direduksi akan disusun dan ditata dalam satuan peristiwa dan satuan makna yang meliputi: bagaimana latar belakang terjadinya komodifikasi, proses terjadinya komodifikasi, dan dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi.
6. Penyimpulan dan Verifikasi
Langkah – langkah yang telah ditempuh diatas akan menghasilkan simpulan yang bersifat sementara. Simpulan yang bersifat sementara itu akan di uji dengan simpulan-simpulan data yang terjaring dari hasil observasi dan wawancara berikutnya. Dari simpulan – simpulan yang bersifat sementara itu akan ditarik simpulan umum secara indukatif sebagai hasil akhir penelitian. Ini berarti sejak semula peneliti telah berusaha untuk mencari makna data yang dikumpulkan.
Terkait dengan hal ini, dalam Nasution (1996:130) dinyatakan dari data yang diperolehnya sejak awal, penelitian telah mencoba mengambil simpulan. Simpulan itu mula-mula masih tentative, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahan data, maka simpulan itu lebih Grounded. Jadi simpulan senantiasa harus diverifikasikan selama penelitian berlangsung untuk mendapatkan simpulan akhir sebagai hasil penelitian.
7. Tehnik Pengesahan Data
Moleong (2004:47) untuk menghadiri kesalahan atau kekeliruan data yang telah terkumpul, perlu dilakukan pengecekan keabsahan data. Pengecekan keabsahan data didasarkan pada kriteria derajat kepercayaan ( crebility) dengan tehnik trianggulasi, ketekunan, pengecekan teman sejawat.
7.1 Keabsahan Data
Moleong ( 2004:329) menyatakan keabsahan data berhubungan erat dengan ketekunan pengamatan yang berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentative. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan cirri-ciri dan unsur -unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
7.2 Triangulasi Data
Moleong (2004:50) Triangulasi merupakan tehnik pengecekan keabsahan data yang didasarkan pada sesuatu diluar data untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding terhadap data yang telah ada. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini dapat diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.

Sugiyono (2007:372-373) menyatakan ada tiga macam triangulasi yaitu: (1) Triangulasi Sumber; (2) Triangulasi Tehnik; (3) Triangulasi Data.   Triangulasi tehnik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan tehnik yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar