A.
TRANSFORMASI UPACARA NGABEN BERBASIS TATTWAISME DAN
ESENSIALISME STUDI PENDIDIKAN DALAM PELAKSANAAN NGABEN MASSAL DI DESA
SAWAN KECAMATAN SAWAN KABUPATEN BULELENG
B. Latatar Belakang
Bali merupakan primadona pariwisata indonesia yang
memiliki potensial alam dan seni budaya yang dapat diandalkan sebagai daya
tarik wisata. Perkembangan pariwisata di Bali bagaikan pisau bermata dua
yang memiliki dampak negatif dan
positif yang mesti difilter oleh masyarakat Bali supaya dapat menunjang
perkembangan budaya Bali kearah yang positif.
Bali
yang menjadi tujuan wisata Dunia siap tidak siap akan terkena imbas dari era globalisasi sehingga terjadi perubahan sosial berupa keterkaitan antara
elemen-elemen akibat perkembangan teknologi di bidang transportasi dan
komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
Globalisasi membawa dampak yang sangat besar pada semua sektor kehidupan
masyarakat Bali. Hal tersebut dapat kita lihat dari tingginya pergulatan antara
nilai-nilai lokal dan global yang memasuki segenap sendi-sendi kehidupan
masyarakat Bali. Pengaruh globalisasi tidak dapat ditolak karena perkembangan
kebudayaan manusia akan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Sesuai dengan pernyataan diatas dalam
Maryadi (2000:12) dinyatakan
bahwa kebudayaan suatu masyarakat selalu berkembang dari waktu kewaktu.
Perkembangan budaya ini akan menimbulkan terjadinya perubahan kebudayaan.
Masyarakat Bali sendiri telah mengalami
perubahan (transformasi) yakni dari masyarakat tradisional ( pramodern ) ke
masyarakat modern (postmodern) yang ditandai oleh berlakunya neoliberalisme.
Boudieu (dalam Fashri, 2007) menunjukkan bahwa neoliberalisme memiliki beberapa
ciri yakni status sosiologi manusia adalah homo economicus, epistemology (cara
pandang) adalah economicus, seluruh bidang kehidupan manusia adalah komoditas,
relasi manusia adalah transaksi untung rugi, efektivitas dan efisiensi diukur
berdasarkan kinerja ekonomi pasar, manusia dikuasai oleh etika konsumsi.
Masyarakat
Bali yang dominan beragama Hindu menjadikan ajaran Catur Purusa Artha sebagai
dasar dalam kehidupan beragama. Catur Purusa artha artinya empat tujuan hidup
manusia dalam upaya mencapai jagadhita dan moksa. Dharma yang artinya kebenaran merupakan landasan
utama di dalam mencari artha dan pemenuhan kama di dalam mencapai jagadhita dan
moksa.
Seiring
dengan perkembangan jaman, nilai-nilai yang terdapat didalam ajaran Agama mulai
berubah. Pada jaman era globalisasi masyarakat Bali sudah mulai mengutamakan
material diatas segalanya.
Hal ini
lebih dipertegas lagi dalam Maryadi (2000:15) dinyatakan bahwa kini masyarakat
Indonesia telah mengalami transformasi budaya spiritual ke kebudaya material.
Transformasi budaya spiritual kedalam budayaan material dapat kita amati dalam
kehidupan masyarakat Bali di zaman modern yang sudah mulai mengutamakan Artha
dan pemenuhan hasrat atau Kama dibandingkan menjalankan Dharma sebagaimana
mestinya. Sejalan dengan ini, dalam Piliang (1999:105) juga dinyatakan bahwa didalam
konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas,
logika yang mendasarinya bukan logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat
(desire). Pemenuhan kama di dalam Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Piliang,
1999:105) juga dinyatakan bahwa di dalam Anti-Oedipus (hasrat atau hawa nafsu)
tidak akan pernah terpenuhi, oleh karena itu ia selalu diproduksi dalam bentuk
yang lebih tinggi oleh apa yang disebut mesin hasrat (desiring machine).
Pada era
globalisasi ini banyak masyarakat Bali yang merubah pola hidup dari masyarakat
agraris ke pariwisata demi mencari Artha yang lebih banyak untuk memenuhi
kepuasan hasrat atau keinginan. Fenomena tersebut mengakibatkan adanya
transformasi budaya dari masyarakat sosial religious ke masyarakat
individualisme. Seiring dengan perubahan pola hidup masyarakat Bali tata cara
pelaksanaan upacara agama juga
mulai mengalami transformasi salah
satu contohnya adalah upacara ngaben, zaman dahulu melaksanakan ritual upacara ngaben semakin lama waktunya
semakin baik karena hubungan kekerabatan antara individu yang satu dengan yang
lainnya semakin berarti. Pada jaman itu membuat sarana upakara dikerjakan oleh
masyarakat secara bersama-sama dengan system gotong royong (ngoopin) dan proses pelaksanaan upacara ngaben juga memerlukan waktu yang sangat
lama, biasanya disertai
dengan acara makan-makan sehingga memerlukan biaya yang cukup banyak, tenaga
yang cukup besar dan waktu yang diperlukan juga relatif lama. Namun sekarang dalam masyarakat Bali pada
umumnya telah terjadi perubahan pola pelaksanaan upacara ngaben dengan membeli atau memesan
sarana upacara pada Griya karena masyarakat menginginkan yang serba praktis
atau simple. Masyarakat cukup menyerahkan uang dan banten lengkap dengan yang
muput telah disiapkan oleh Griya tersebut. Meskipun memakan waktu yang relatif singkat, namun pelaksanaan upacara
ngaben pada zaman sekarang lebih bersifat hiperealitas yadnya yaitu pelaksanaan
yadnya yang melampui hakikat atau esensi dari upacara tersebut sehingga lebih
terkesan bersifat Rajasika
(jor-joran)
Pelaksanaan upacara agama yang bersifat rajasika ( jor-joran), yang sangat luar biasa beratnya seperti sekarang ini, yang menguras sebagian besar
uang, dan tenaga. Apabila budaya seperti ini terus dipertahankan maka masyarakat Bali akan tertinggal dan selalu menjadi budak di kandangnya sendiri. Namun, apabila masyarakat Bali mau mengadakan
transformasi secara berkesinambungan untuk menggali pola pelaksanaa upacara
Agama yang ideal khususnya upacara ngaben maka nasib orang Bali tidak akan
sengsara seperti orang hawai.
Transformasi Upacara Ngaben juga terjadi di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten
Buleleng, yang dimana pada
jaman dahulu masyarakat sawan melaksanakan upacara ngaben perseorangan atau
individualisme yang biasanya menghabiskan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup
besar, lama-kelamaan pola upacara ngaben ini terus berubah dan berkembang
seiring dengan perkembangan jaman. Transformasi Upacara Ngaben yang terjadi di
Desa Sawan lebih mengarah kearah yang positif, dimana pada zaman sekarang ini
pelaksanaan upacara ngaben di desa sawan berbasis tattwaisme dan esensialisme
sehingga didalam prosesi upacara ngaben tersebut memerlukan waktu yang cukup
singkat, tenaga dan biaya yang relatif sedikit dengan tidak mengurangi hakikat
dari upacara ngaben tersebut.
Transformasi upacara ngaben di Desa Sawan
Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng menarik untuk diteliti karena pelaksanaan
upacara ngaben di Desa Sawan sangat berbeda dengan Upacara ngaben pada
masyarakat umum di Bali yang cendrung bersifat Rajasika (jor-joran).
C. Rumusan Masalah
Dari paparan di atas, maka akan diteliti tentang Transformasi upacara Ngaben berbasis tattwaisme dan
esensialisme studi Pendidikan Keagamaan Dalam Pelaksanaan Upacara Ngaben Massal sesuai objek penelitian kajian budaya dengan karakternya
yang bersifat kritis di Desa Pakraman Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Dengan merumuskan
pokok masalah sebagai berikut:
2.1 Adakah transformasi pola
pengabenan dari ritualisme mengarah ke tattwaisme dan esensialisme dalam
upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
2.2 Mengapa terjadinya
transformasi pola upacara ngaben dari pola upacara ngaben individualisme kearah
upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
2.2 Apa makna pendidikan keagamaan yang ada
kaitannya dengan tattwaisme dan esensialisme dari upacara ngaben massal yang
diapersepsi oleh umat Hindu di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
D. Tujuan Penelitian
Secara umum suatu penelitian pasti
dilandasi oleh tujuan yang ingin dicapai, karena berhasil tidaknya suatu
penelitian ditentukan oleh jelas tidaknya tujuan itu sendiri.
Tujuan merupakan syarat mutlak dalam suatu
penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini tertuang
dalam tujuan umum dan tujuan khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Penelitian ilmiah sudah pasti menginginkan
hasil yang maksimal dan mampu menjawab segala penomena atau gejala yang
ditemukan dalam masyarakat sehingga fenomena-fenomena tersebut tidak menimbulkan
penafsiran-penafsiran yang keliru di kalangan masyarakat yang beragama Hindu
maupun masyarakat umum. Tujuan yang dirumuskan secara jelas akan dapat
mengarahkan suatu penelitian kearah suatu hasil yang maksimal.
Tujuan penelitian senantiasa dapat dipergunakan
sebagai pedoman dalam melaksanakan penelitian, sehingga menetapkan tujuan
penelitian merupakan suatu hal yang penting bahkan harus dilaksanakan.
Penulis dalam penelitian ini ingin mengkaji
dan memahami transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme dalam era globalisasi di Desa Pakraman Sawan. Diinspirasi oleh
pemikiran potmodernisme dalam perspektifkajian budaya. Penelitian ini mencoba
memahami transformasi upacara
ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme untuk mengungkap adanya nilai-nilai religius yang terkadung didalam
upacara tersebut.
2. Tujuan khusus
Dalam penelitian ini, penulis memiliki
tujuan yang sifatnya sangat khusus. Hal ini berarti penulis harus mampu
mengungkap lebih dalam dari permasalahan tersebut, sehingga hasil yang di
peroleh sesuai dengan harapan dan tujuan dari penulis itu sendiri. Tujuan yang
ingin dicapai yaitu:
2.1 Untuk mengatahui adanya transformasi pola
pengabenan dari ritualisme mengarah ke tattwaisme dan esensialisme dalam
upacara ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng?
2.2 Untuk mengetahui penyebab terjadinya transformasi
pola upacara ngaben dari pola upacara ngaben individualisme kearah upacara
ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng
2.3 Untuk mengetahui makna pendidikan keagamaan yang ada kaitannya dengan tattwaisme dan
esensialisme dari upacara ngaben massal yang diapersepsi oleh umat Hindu di
desa sawan kecamatan sawan kabupaten buleleng
E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan dapat
menghasilkan sumbangan yang bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan sehingga menambah kazanah pengetahuan secara umum. Hasil penelitian
ini sangat perlu diperkenalkan kepada seluruh umat hindu yang ada di Bali
secara umum maupun umat hindu yang berada di Desa pakraman Sawan. Dengan terlaksananya penelitian ini masyarakat
secara umum dapat memberikan deskripsi dan pemahaman terhadap fenomena Transformasi upacara ngaben yang berbasis tattwaisme dan esensialisme.
Sehubungan dengan hal tersebut maka penelitian ini mempunyai manfaat
baik secara teoritis maupun praktis bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun
dikalangan masyarakat yang beragana Hindu dan Non Hindu sehingga masyarakat
Hindu di dalam melaksanakan ritual tidak bersifat jor-joran atau rajasika melainkan bersifat satwika
sesuai dengan ajaran agama Hindu. Dengan melaksanakan ritual yang bersifat
satwika akan mampu menepis anggapan miring tentang ritual agama Hindu di Bali
oleh umat lain. Manfaat penelitian ini akan dituangkan ke dalam manfaat secara
teoritis dan praktis.
1. Manfaat Secara
Teoretis
Manfaat penelitian ini secara
teoretis adalah memaknai fenomena
transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan upacara ngaben massal yang dilihat dari perspektif kajian
budaya. Manfaat lainnya, dapat menambah
referensi tentang transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme
dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massal bagi calon peneliti lain yang
tertarik dengan penelitian ini dan mereka dapat meneliti dengan topik dan
masalah yang berbeda. Selain itu, penelitian
ini dapat memperkaya pengalaman dan
peningkatan kualitas dan kemampuan peneliti dalam penelitian.
2. Manfaat Secara
Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak terkait pemegang kebijakan
pada instansi pemerintah (Departemen Agama), lembaga adat, dan lembaga agama
Hindu yang terkait dalam menangani upacara keagamaan. Pertama, pemerintah
(Departemen Agama) kiranya dapat menggunakannya sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan pembangunan mental
spiritual dalam melaksanakan upacara
ngaben. Kedua, pimpinan masyarakat (bendesa pakraman, kelihan banjar)
kiranya dapat menggunakannya sebagai sumber rujukan dalam mengorganisasikan
upacara ngaben di desa pakraman atau banjar yang dipimpinnya.
Ketiga, pimpinan dan atau tokoh agama
Hindu (pandita, pemangku, dan cendekiawan), kiranya dapat memanfaatkan
hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan pencerahan
kepada sisya atau umat Hindu yang ingin melaksanakan upacara ngaben.
Keempat, sarati atau tukang banten, kiranya dapat memakai hasil
penelitian ini sebagai acuan atau sumber rujukan dalam membuat banten ngaben. Kelima, lembaga umat
yaitu majelis umat Hindu seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) kiranya dapat menggunakannya sebagai
referensi dalam melakukan pembinaan terhadap umat Hindu mengenai perubahan
prilaku umat Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara ngaben. Keenam. Umat Hindu kiranya hasil penelitian ini dapat dipakai oleh umat se-dharma sebagai
bahan acuan dalam memperkuat posisi di
tengah-tengah perkembangan dunia global sehingga masyarakat dapat memilih
upacara ngaben sesuai kemampuan.
|
F.
KAJIAN PUSTAKA
1. Konsep
Dalam sebuah
penelitian konsep sangat penting agar dapat membangun teori. Ahimsa Putra
(2001:6) mengatakan bahwa serbuah teori
dapat dibangun apabila telah ada
pemahaman dengan baik tentang konsep-konsep analitis serta diketahui cara penerapannya dalam
penelitian. Dalam penelitian ni akan dikemukaan tiga konsep yang mendukung
peneltian, yaitu konsep komodifikasi
upacara ngaben, konsep era
globalisasi, dan konsep Desa Pakraman
Sawan
1.1 Upacara ngaben
Upacara ngaben terdiri dari
kata upacara dan ngaben. Menurut Keputusan Pesamuhan Agung Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat di Denpasar
tanggal 4 Nopember 2007 upacara berasal dari bahasa Sansekerta suku kata “Upa”
yang berarti “Hubungan” dan “Car” yang berarti gerak atau action
mendapat akhiran a menjadi kata kerja yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan
gerakan (pelaksanaan) dari suatu yadnya (tindakan). Sejalan dengan itu
Titib (1998: 147) menjelaskan bahwa secara harfiah tata pelaksanaan suatu yajna
disebut upacara. Kata upacara dalam bahasa Sansekerta berarti mendekati.
Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk
mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa,
kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, pitara maupun
resi. Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata
pelaksanaan sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran agama Hindu. Kesucian
adalah sifat Tuhan. Orang harus suci lahir dan batin bila ingin memanjatkan doa
dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Upacara memberikan identitas tersendiri bagi
agama-agama tertentu yang membedakan dengan agama yang lainnya. Masing-masing
agama memiliki aturan dalam tata pelaksanaan upacaranya.
Menurut Wiana (2004: 25-27) upacara ngaben
termasuk ke dalam upacara pitra yajna. Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata “api” mendapat prefik nasal
“ng” dan sufik “an” sehingga menjadi “ngapian”,
kemudian mengalami sandi sehingga menjadi “ngaben”. Terjadi perubahan
bunyi konsonan “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “p, b, m, w
(rumpun huruf bilabial) sehingga kata “ngapen” berubah menjadi “ngaben”.
Kemudian kata ngaben diberi arti
menuju “api”. Dalam ajaran agama Hindu api adalah lambang kekuatan Dewa Brahma,
jadi ngaben berarti menuju Brahma. Maksud dan tujuan ngaben
adalah melepaskan atma dari unsur Panca Maha Butha dan
mengantarkan sang atman menuju alam Brahman atau alam ketuhanan
Dilihat dari keadaan jazad orang
yang diaben, maka upacara ngaben
itu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Ada yang disebut sawa wadana, asti
wadana, dan swasta. Perbedaan jenis ngaben
tersebut terletak pada pangawak. Pada ngaben sawa wadana ada
jazad (sawa) orang yang baru
meninggal sebagai pangawak. Ngaben
asti wadana adalah upacara ngaben
yang menggunakan tulang belulang orang
yang lama meninggal dan sudah lama dikuburkan. Tulang belulang itu diangkat
dari kuburan dan tulang belulang yang tersisa itulah yang dijadikan pangawak.
Ngaben swasta adalah upacara ngaben yang tidak ditemukan jenazahnya, pangawaknya menggunakan simbol dalam bentuk Tirtha atau Kusa (
daun alang-alang).
1.2 Tattwaisme
Menurut
Semadi Astra, dkk. Kata Tattwa dinyatakan berasal dari bahasa Sansekerta, yang
berarti kebenaran, kenyataan, sesungguhnya, hakekat ( Sansekerta-Indonesia
1983-1984 : 96 ) Tattwa merupakan pandangan atau ajaran kebenaran menurut
pandangan Agama Hindu. Ajaran tattwa agama lebih banyak bernuansa pandangan
tentang kebenaran yang lebih bernuansa nusantara. Artinya ajaran tattwa itu
lebih banyak ditulis oleh orang-orang suci hindu pada kejayaan agama Hindu di
nusantara, seperti Contohnya : kitab jnana tattwa, tattwa jnana, Bhuwana kosa,
kitab Gana Pati tattwa, kitab Wrahaspati tattwa. Ajaran tattwa pada umumnya membahas tentang
hakekat ketuhanan (Widhi tattwa), hakekat tentang atma ( Atma tattwa), kebenaran
tentang proses kelahiran (
Punarbhawa tattwa). Tattwa yang dimaksudkan dalam
transformasi upacara ngaben adalah ajaran
– ajaran suci tentang kebenaran yang berdasarkan kitab suci Agama Hindu yang
menjadi acuan di dalam melaksanakan upacara ngaben di Desa sawan kecamatan
Sawan kabupaten buleleng.
1.3 Esensial
Menurut
Badudu dkk ( 1994 : 399) menyatakan bahwa kata esensi/esensial, inti, hakekat, hal yang pokok, kemukakanlah persoalannya supaya jelas
bagi kami. Esensial /esensi, yang sifatnya hakiki, inti, paling penting,
masalah yang dikemukakannya selalu masalah-masalah. Sedangkan menurut Maulana
dkk, ( 2003:101 ) dinyatakan bahwa kata esensi atau esensial memiliki arti
mendasar, yang penting, utama, hakiki. Kata esensi ini berasal dari bahasa
inggris yaitu essence yang memiliki arti
sama dengan kata gist,juga sama dengan kata Quintenssence yang artinya
intisari, pokok, sari pati, inti. Sedangkan Echols dkk ( 2000:218-462)
menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan esensi adalah hakikat terpenting ,
inti, sari pati, intisari makna, atau hakikat terdalam.
Jadi yang dimaksud Transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan
esensialisme dalam
penelitian ini adalah perwujudan upacara ngaben dalam era globalisasi
merupakan suatu upaya sadar dengan perhitungan matang dari kelian adat, griya-griya, dan masyarakat Desa Sawan dalam melaksanakan upacara ngaben yang sesuai
dengan ajaran agama dan hakikat dari upacara ngaben tersebut sehingga
pelaksanaan upacara ngaben tersebut tidak hiperealitas yadnya yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan masyarakat Sawan.
1.4 Desa Pakraman Sawan
Desa adat Raka
dalam Gorda (1999:2) dinyatakan sebagai
suatu kesatuan wilayah dimana warga negaranya secara bersama-sama
mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian
desa. Rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat karena adanya karang
desa (wilayah teritorial), awig-awig desa Adat (sistem aturan desa
dengan peraturan pelaksanaannya). Disamping itu adanya pura Kahyangan Tiga (pura Desa sebagai suatu sistem tempat persembahyangan bagi warga desa
adat).
Dari deskripsi desa adat tersebut di
atas, terungkap bahwa fungsi utama desa adat adalah mengonsepkan dan
mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Pura
kahyangan tiga merupakan unsur yang mengikat rasa kesatuan warga desa
adat. Swellengrebel (1960) dan Covarrubias (1972) dalam Gorda
(1992:2) menyatakan bahwa kesatuan
pemujaan di Pura Kahyangan Tiga merupakan unsur pengikat sebuah desa adat. Dengan demikian desa adat merupakan
organisasi khusus orang Bali yang beragama Hindu.
Sejak dikeluarkannya Perda Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, sebutan ”desa adat” diganti menjadi ”desa pakraman:
Desa pakraman adalah ” kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan masyarakat umat
Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus
rumah tangganya sendiri.
Dengan memperhatikan pengertian di atas, maka
secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa adat atau desa pakraman
merupakan organisasi masyarakat Hindu di Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah
tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola
hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa adat atau pakraman,
terdiri atas tiga unsur, yaitu: (1) unsur parahyangan (berupa pura atau
tempat suci agama Hindu), (2) unsur pawongan
(warga desa yang beragama Hindu), dan (3) unsur palemahan (wilayah desa
yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya).
Desa pakraman Sawan satu-satunya desa
pakraman yang berada di desa Sawan, yang memiliki keunikan makin besarnya
transformasi budaya ritual upakara upacara yadnya yang ditunjukkan dengan makin
kuatnya materialisme yang tertanam didalam ideologi diri masyarakat Sawan
sehingga segala bentuk ritual keagamaan diukur dengan material akan tetapi
tidak melupakan hakikat yadnya dan rasa kekeluargaan antara masyarakat satu
dengan masyarakat yang lainnya.
2. Teori
Pada dasarnya yang disebut teori adalah azas, konsep
dasar, pendapat yang telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk
membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Kerlinger (2004:16-17) sebuah teori adalah
seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antara
variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu.
Teori-teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis cultural studies. Ada pun teori-teori
yang digunakan antara lain (1)Teori Transformasi Budaya ( 2 )Teori gerakan
sosial baru ( 3 ) teori esensialisme. Teori-teori tersebut sebagai berikut:
1. Teori Perubahan Sosial
Teori
perubahan sosial
dan budaya yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori perubahan sosial dari
Karl Marx dan Max Weber,
yang dimana Karl Marx merumuskan bahwa perubahan social dan budaya
sebagai produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih
pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi
sebab perubahan.
Karl
marx dalam (Beteille, 1970)......................menyatakan ada
tiga dimensi yang membagi
masyarakat dalam suatu susunan atau stratifikasi yang menyebabkan terjadinya Perubahan sosial masyarakat,
yaitu kelas, status dan kekuasaan. Kelas dalam pandangan Weber merupakan
sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi,
distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang
menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi
kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja.
Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.
Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola
konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
ras, usia dan agama. Weber (Beteille, 1970).
Berbeda
dengan Karl Mark,
yang memandang perubahan sosial
dari
sisi politik dan
ekonomi. Max Weber (1864-1920) dalam karya-karyanya merumuskan penyebab perubahan sosial
secara luas yaitu dari sisi
ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan
berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa
sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi
belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru
memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di
tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di
dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang
di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas
penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan
gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan
hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan.
Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari
perubahan.
Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di
antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti
perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana
alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
2. Teori Tindakan
Teori Tindakan, yaitu
individuv melakukan suatu tindakan berdasarkan berdasarkan pengalaman,
persepsi, pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi
tertentu. Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu
mencapai tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori Max
Weber ini dikembangkan oleh Talcott Parsons yang menyatakan bahwa aksi/action
itu bukan perilaku/behavour. Aksi merupakan tindakan mekanis terhadap suatu
stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif.
Talcott Parsons beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan individu
melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur
perilaku itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap
suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Talcott
Parsons juga beranggapan bahwa tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi
oleh system sosial, system budaya dan system kepribadian dari masing-masing
individu tersebut. Talcott Parsons juga melakukan klasifikasi tentang tipe
peranan dalam suatu system sosial yang disebutnya Pattern Variables, yang
didalamnya berisi tentang interaksi yang avektif, berorientasi pada diri
sendiri dan orientasi kelompok.
3.
Teori
Neo-evolusionisme
Teori
ini dikembangkan oleh Talcott Parson yang bermula dari seminatr yang
diselenggarakannya di Harvard Univecity pada tahun 1963. Parson dikenal sebagai
a biologist masyarakat manusia tidak ubahnya organisme biologis dan
karya karyanya banyak dikenal sebagai paradigma ini. Teori Person yang terkenal
adalah teori tentang tindakan manusia. Tentang hal ini ia membedakan menjadi
empat subsistem: organisme, kepribadian, system sosial, dan system keltural.
Keempat unsure ini tersusun dalam uraian sibernetic (cybernic order)
dan mengendalikan tindakan manusia.
Semua
tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: system cultural, sosial,
kepribadian, dan organisme. Sistem cultural merupakan sumber ide, pengetahuan,
nilai, kepercayaan, dan symbol-simbol. System ini penuh dengan gagasan dan ide.
Karena itu, kaya akan informasi, tetapi lemah dalam energy dan aksi. Aplikasi
dari sistem kultural yang kaya informasi tersebut ada pada sistem di
bawahnya. System cultural memberikan arahan, bimbingan, dan pemaknaan terhadap
tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada bentuk tindakan manusia
dalam system sosial. Untuk sampai pada tindakan nyata, kepribadian, system
sosial berfungsi sebagai mediator terhadap system kultural. Artinya,
symbol-simbol budaya diterjemahkan begitu rupa dalam system sosial ytang
kemudian disampaikan kepada individu-individu warga sitem sosial melalui proses
sosialisasi dan internalisasi.
Tidak
seperti prinsip teori evolusi sosial yang membagi perkemabangan masyarakat
secara dikotomis, Parson-seperti halnya teoretisi neo-evolusi lainnya,
menunjukkan adanya perkembangan masyarakat transisional. Menurut Parson,
masyarakat akan berkembang melalui tiga tingakatan utama: (1) primitive; (2)
intermediate; dan (3) modern. Dari tiga tahapan ini, oleh Parson dikembangkan
lagi kedalam subklasifikasi evolusi sosial lagi sehingga menjadi lima tingkatan:
(a) primitif; (b) advanced primitif and arcchaice; (c) historic intermediate;
(d) seedbed societies; dan (e) modern societies.
4.
Teori Esensialisme
Esensialisme adalah
pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan
ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama
ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas,
di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan
doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
|
G. METODE PENELITIAN
1. Subjek
dan Objek Penelitian
1.1 Subjek Penelitian
Arikunto (2002 : 107) menyatakan bahwa subjek
adalah suatu hal yang menjadi sumber data. Sumber data dapat berupa, person
(sumber data berupa orang), place (sumber data berupa tempat) dan paper
(sumber data berupa huruf, angka, gambar dan simbol-simbol lainnya. Subjek
penelitian adalah setiap individu yang
akan diselidiki atau yang akan diteliti. Yang menjadi subjek dalam penelitian
ini adalah warga di Desa Pakraman
Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng
1.2 Objek
Penelitian
Arikunto (2002:96) menyatakan bahwa objek
penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Komodifikasi Upacara Ngaben di Era
Globalisasi di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Pemilihan objek ini berdasarkan atas
gejala yang telah terjadi sekian lama akan tetapi segi nilai yang membuat
masyarakat tetap mempertahankan upacara tersebut sehingga menarik untuk dikaji.
2. Pendekatan dan jenis Penelitian
2.1 Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian mengenai Transformasi Upacara Ngaben berbasis tattwaisme
dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massaldi Desa Pakraman Sawan adalah
menggunakan pendekatan fenomenologis
Sehubungan dengan penelitian ini
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis. Menurut Moleong (
2003 : 15 ) dinyatakan bahwa fenomenologis adalah pendekatan yang digunakan
untuk menyelidiki pengalaman kesadaran yang berkaitan dengan pertanyaan
seperti; bagaimana pembagian antara subyek (ego) dengan obyek (dunia) muncul
dan bagaimana suatu hal di dunia ini diklasifikasikan.
2.2 Jenis Penelitian
Penelitian yang
dilaksanakan ini bertujuan untuk mengetahui dan mengamati terjadinya
transformasi upacara ngaben berbasis tattwaisme dan esensialisme studi
keagamaan dalam pelaksanaan ngaben massal di desa sawan kecamatan sawan
kabupaten buleleng. Hal ini bertolak dari pengamatan awal yang dilaksanakan
bahwa pola pelaksanaan upacara ngaben di desa sawan telah mengalami perubahan
dari ngaben individualisme kearah ngaben massal.
Berdasarkan uaraian
diatas, maka jenis penelitian yang dilaksanakan ini bisa dikatakan tergolong
kedalam penelitian kualitatif tipe studi, karena penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan pola upacara ngaben di desa sawan yang telah mengalami
perubahan dari individualisme kearah ngaben massal.
3. Data dan Sumber Data
Menurut Hadi ( 1985:136)
dinyatakan bahwa data adalah bahan mentah yang tidak berarti apa-apa, jika
tidak segera diolah. Sementara itu menurut Margono ( 1996:23) data diartikan
sebagai informasi yang diperoleh langsung dari sumber informasi yang masih
bersifat mentah, sehingga data perlu segera diolah.
Berdasarkan kedua pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa data adalah informasi yang diperoleh secara
langsung dari sumber informasi yang masih bersifat mentah, sehingga harus
segera diolah untuk bisa disajikan kedalam bentuk hasil penelitian.
Pekerjaan mengumpulkan
data dalam penelitian kualitatif pada umumnya melalui fieldwork , yaitu pekerjaan mencatat, mengamati, mendengarkan,
merasakan, mengumpulkan dan menangkap semua fenomena data dan informasi tentang
fenomena yang diselidiki. Dalam Moleong (2007:157) dinyatakan sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen dan sebagainya.
Metode Penelitian kualitatif yang
digunakan pada umumnya bertujuan untuk mengembangkan konsep atau mengembangkan
pemahaman dari suatu fenomena, dalam hal ini Transformasi Upacara Ngaben
berbasis tattwaisme dan esensialisme studi pendidikan keagamaan dalam
pelaksanaan ngaben massaldi Desa Pakraman Sawan Kecamatan Sawan
Kabupaten Buleleng.
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah jenis data primer dan data skunder. Data primer menurut Margono (
1996:26) adalah data yang langsung diperoleh dari sumber informasi pertama,
seperti data hasil wawancara, data hasil observasi dan sebagainya. Sedangkan
menurut moleong (2007:159) data primer adalah data yang diperoleh melalui
pengamatan berperan serta dan data hasil wawancara langsung dengan informan.
Dalam kaitannya dengan dengan penelitian yang dilaksanakan ini, maka data
primer yang dikumpulkan adalah data tentang transformasi upacara ngaben yang
terjadi di desa sawan. Data primer selain data yang telah disebutkan di atas
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data tentang sesuatu gejala sosial
keagamaan yang bersifat kompleks, berupa data tentang gagasan, ide, pandangan,
motif-motif yang melandasi atau alasan-alasan yang terkait dengan permasalahan
penelitian.
Sedangkan data skunder menurut Redana (2001:242) dinyatakan bahwa data sekunder merupakan data
pelengkap sajian data primer. Data skunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah
ada. Data ini biasanya dari perpustakaan atau dari karya ilmiah peneliti
terdahulu.
Sementara menurut Moleong (2007:159) dinyatakan
bahwa data sekunder adalah data diluar kata-kata dan tindakan berupa buku,
majalah ilmiah, dokumen pribadi, arsip-arsip, majalah dan sebagainya.
Informasi
secara lengkap di dalam membuat karya ilmiah dapat diperoleh dengan mengkaji
buku utama dan buku penunjang. Dengan demikian dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik kepustakaan dan dokumentasi.
Berdasarkan kedua uraian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa data sekunder adalah data di luar kata-kata dan tindakan,
berupa buku-buku, surat kabar, majalah, catatan pribadi dan sebagainya. Dengan
menggunakan sumber data seperti diatas, diharapkan perolehan data menjadi lebih
kaya dan memadai. Disamping tujuan tersebut diatas hal ini juga bertujuan untuk
memberikan peluang untuk melakukan pengecekan silang, sehingga kesahihan data
yang diperoleh serta keabsahan datanya bisa lebih terjamin.
Peneltian ini adalah penelitian kualitatif dengan design penelitian
terfokus pada observational case studi. Dalam design
penelitian ini cara pengumpulan data yang utama adalah Exfost facto yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk
mengkaji suatu permasalahan yang telah terjadi untuk diteliti pada massa
sekarang untuk mendapatkan data yang akurat dan jelas sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya dengan
titik perhatian penelitian pada
masyarakat di Desa Pakraman Sawan
dalam Tansformasi Upacara Ngaben ngaben yang berbasis
tattwaisme dan esensialisme
4. Teknik pengumpulan data
Setelah
pemilihan dan analisis masalah yang akan diteliti, langkah berikutnya yang harus diperhatikan adalah penentuan
metodologi penelitian yang akan digunakan sehingga masalah tadi dapat terjawab
secara tepat dan tarandalkan kesahihannya ( faisal, 2005:31). Dalam penelitian
ilmiah untuk mendapatkan data yang diperlukan, para peneliti perlu menggunakan
metode-metode tertentu untuk mengumpulkan data. Baik buruknya suatu research
sebagai tergantung kepada teknik-teknik pengumpulan datanya. Oleh sebab itu,
peneliti menggunakan metode observasi,interview, kepustakaan, dan metode
dokumentasi.
4.1 Observasi
Observasi
adalah cara pengumpulan data yang dilaksanakan melalui pengamatan panca indra
dan disertai pencatatan secara sistematis. Menurut Suprayoga (2001:167) Untuk mendapatkan data, keterangan-keterangan
tentang fenomena yang diteliti, dilakukan dengan cara pengamatan secara
langsung dan pencatatan secara sistematis. Data yang diperoleh dalam observasi
dicatat dalam sebuah catatan observasi. Pengamatan dan pencatatan yang
berkaitan dengan Komodifikasi upacara ngaben di Desa Sawan merupakan suatu
rangkaian kegiatan dari observasi.
Informan yang
dimaksud adalah orang-orang yang akan diwawancarai untuk mendapatkan berbagai
informasi terhadap adanya transformasi
upacara ngaben berbasis
tattwaisme dan esensialisme di
Desa Sawan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Para informan yang dipilih pada
penelitian ini adalah mereka yang mempunyai kemampuan dan pemahaman yang
memadai tentang masalah yang diteliti. Dalam penentuan informan penulis akan
mencari seseorang yang memang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya
komodifikasi upacara ngaben di desa Sawan. Dalam hal ini, informan diharapkan
sekali untuk memberikan informasi secara terbuka kepada penulis berkenaan
penelitian tersebut diatas sehingga penelitian tersebut dapat disajikan secara
akurat.
4.2 Wawancara
Wawancara merupakan
pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara tatap muka antara
intervierwer (orang yang menginterview) dengan informan (orang yang
diinterview) atau tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu (Setya,
1983:37). Tujuan yang ingin dicapai dari tekhnik ini adalah memperoleh data
yang obyektif dan relevan sesuai maksud dan tujuan dari penyelidikan tersebut.
Adapun wawancara yang dilakukan oleh peneliti merupakan suatu kajian yang
sangat mendalam ( indept interview) artinya wawancara yang dilakukan secara
berulang – ulang kepada sejumlah informan untuk mendapatkan data yang benar
pada setiap aspek dan objek penelitian sampai data itu mampu menjawab berbagai
persoalan yang akan dipecahkan terutama yang berkaitan dengan proses terjadinya
komodifikasi upacara ngaben.
Wawancara
merupakan suatu teknik yang dipakai untuk menggali berbagai informasi dari
informan dengan tujuan informasi yang didapat sesuai dengan realitas yang
dihadapi di lapangan. Secara umum teknik wawancara terbagi menjadi 2 (dua)
jenis yaitu : wawancara berstruktural dan wawancara tidak berstruktural.
4.3 Dokumentasi
Dokumentasi
adalah metode yang digunakan untuk memperoleh keterangan – keterangan atau
informasi dari catatan-catatan tentang gejala-gejala atau peristiwa masa lalu.
Keuntungan metode ini adalah dalam pengambilan data dari peristiwa masa lalu,
menghemat waktu, tenaga, biaya,data yang sudah didokumentasikan biasanya sudah
tersusun baik, tidak ada kesangsian (Setya, 1983:39)
Metode
dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dalam suatu penelitian dengan
mengumpulkan data langsung yang ditunjukkan pada subyek penelitian, namun
melalui dokumen. Dokumen yang digunakan dapat berupa buku-buku, laporan dan
dokumen lainnya.
Data dokumen
sangat penting dalam suatu penelitian untuk melengkapi hasil wawancara dan data
hasil pengamatan agar data – data dapat diperoleh secara akurat. Data yang
diharapkan dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan penelitian
diatas.
5. Tenik Analisis Data
Tahapan analisis
data adalah salah satu tahapan kunci dalam penelitian. Tahap ini baru bisa
dilakukan setelah semua data terkumpul.
Masalah yang
tidak kalah penting dari apa yang sudah diperoleh dari hasil penelitian adalah
pengelolahan data. Dalam penelitian kualitatif analisis data telah dilakukan
sejak sebelum memasuki lapangan atau mulai dari persiapan sebuah penelitian
sampai akhir sebuah penelitian. Artinya, analisis data telah mulai sejak
merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung
secara berkelanjutan sampai akhir penulisan sebuah penelitian. Menganalisis
data dalam penelitian kualitatif lebih difokuskan selama proses di lapangan
bersama dengan pengumpulan data ( sugiyono, 2006:275)
Data primer
dan data skunder yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan kepustakaan
telah terkumpul akan dipilah terlebihs dahulu, dengan segera digarap oleh peneliti yang akan mengolah
data tersebut. Pengolahan data tersebut disebut pengolahan data, dan ada pula
yang menyebut sebagai sebuah analisis data (Suharsini, 2006:235). Adapun
langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data dalam penelitian ini
adalah :
5.1 Pembuangan Data
Penelitian ini
difokuskan pada proses terjadinya komodifikasi upacara ngaben di Desa Sawan
Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, maka data yang akan dimanfaatkan hanyalah
data yang relevan dengan fokus penelitian. Dalam proses mereduksi aka nada
pembuangan data terutama data-data yang diperoleh dalam pengumpulan data yang
tidak terkait dengan tujuan penelitian.
5.2 Transformasi Data
Transformasi
data adalah pengubahan bentuk data menjadi bentuk lain agar efektif dan efisien
tanpa mengubah atau menghilangkan substansinya. Data yang ditransformasi dalam
penelitian ini adalah jawaban yang diberikan oleh para informan atas pertanyaan yang diajukan pada saat
wawancara.
5.3 Pengelompokan Data
Data yang
diperoleh dalam pelaksanaan pengumpulan data belum teratur karena di dapat dari
berbagai sumber. Misalnya data tentang komodifikasi upacara ngaben, proses komodifikasi,
dan dampak yang ditimbulkan dari terjadinya proses komodifikasi upacara ngaben
di Desa Sawan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, maka untuk memudahkan
menganalisis dan menarik simpulan, data itu dikelompokkan dalam satu kelompok.
5.4 Penyajian Data
Data yang
telah direduksi akan disusun dan ditata dalam satuan peristiwa dan satuan makna
yang meliputi: bagaimana latar belakang terjadinya komodifikasi, proses
terjadinya komodifikasi, dan dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi.
6. Penyimpulan dan Verifikasi
Langkah –
langkah yang telah ditempuh diatas akan menghasilkan simpulan yang bersifat
sementara. Simpulan yang bersifat sementara itu akan di uji dengan
simpulan-simpulan data yang terjaring dari hasil observasi dan wawancara
berikutnya. Dari simpulan – simpulan yang bersifat sementara itu akan ditarik
simpulan umum secara indukatif sebagai hasil akhir penelitian. Ini berarti
sejak semula peneliti telah berusaha untuk mencari makna data yang dikumpulkan.
Terkait dengan
hal ini, dalam Nasution (1996:130) dinyatakan dari data yang diperolehnya sejak
awal, penelitian telah mencoba mengambil simpulan. Simpulan itu mula-mula masih
tentative, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahan data, maka simpulan
itu lebih Grounded. Jadi simpulan senantiasa harus diverifikasikan selama
penelitian berlangsung untuk mendapatkan simpulan akhir sebagai hasil
penelitian.
7. Tehnik Pengesahan Data
Moleong
(2004:47) untuk menghadiri kesalahan atau kekeliruan data yang telah terkumpul,
perlu dilakukan pengecekan keabsahan data. Pengecekan keabsahan data didasarkan
pada kriteria derajat kepercayaan ( crebility) dengan tehnik trianggulasi,
ketekunan, pengecekan teman sejawat.
7.1 Keabsahan Data
Moleong (
2004:329) menyatakan keabsahan data berhubungan erat dengan ketekunan pengamatan
yang berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam
kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentative. Ketekunan pengamatan
bermaksud menemukan cirri-ciri dan unsur -unsur dalam situasi yang sangat
relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari kemudian memusatkan diri
pada hal-hal tersebut secara rinci.
7.2 Triangulasi Data
Moleong
(2004:50) Triangulasi merupakan tehnik pengecekan keabsahan data yang
didasarkan pada sesuatu diluar data untuk keperluan mengecek atau sebagai
pembanding terhadap data yang telah ada. Triangulasi dalam pengujian
kredibilitas ini dapat diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber
dengan berbagai cara, dan berbagai waktu.
Sugiyono
(2007:372-373) menyatakan ada tiga macam triangulasi yaitu: (1) Triangulasi
Sumber; (2) Triangulasi Tehnik; (3) Triangulasi Data. Triangulasi tehnik untuk menguji
kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama
dengan tehnik yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar